Selasa, 26 Januari 2016

Nasehat ke 13, Orang yang Ma’rifat dan Orang yang Zuhud



Seorang Ulama berkata, “Kemauan orang yang makrifat (Arif) adalah memuji sedang kemauan orang zuhud (Zahid) adalah berdoa, karena keinginan seorang Arif hanyalah pada (keridhaan) Rabb-nya, sedang keinginan seorang Zahid adalah pada (kemanfaatan) dirinya.” 

Dua kelompok kaum muslimin, kaum Arifin dan kaum Zahidin bisa dikatakan telah mencapai tingkat yang tinggi dalam keimanan dan ketakwaan, di atas umumnya kaum muslimin seperti kita. Bisa jadi secara amalan lahiriah dan ilmu keislaman kelihatannya tidak lebih baik (lebih banyak secara kuantitatif) dari ulama atau ustad yang kita kenali, tetapi keadaan hati mereka itulah yang memperoleh penilaian lebih di sisi Allah. Mungkin ini yang digambarkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau memuji Abu Bakar RA di antara para sahabat lainnya, “Sesungguhnya Abu Bakar itu lebih baik daripada kalian bukan karena lebih banyak shalatnya dan puasanya, tetapi karena sesuatu yang ada di dalam hatinya…”   
Orang Arif adalah adalah orang yang telah mengenal (berma’rifat kepada) Allah dan selalu dalam keadaan mengingat Allah. Dalam beribadah kepada Allah, tidak ada lagi motivasi surga atau neraka, tetapi semata-mata karena cinta. Layaknya seorang yang sedang jatuh cinta, tidak ada yang paling disukainya kecuali hanya memuji dan mengagumi Dzat yang dicintainya. Dan tidak ada yang paling diharapkannya kecuali Allah akan ‘menerima’ cintanya dan melimpahkan keridhaan-Nya.
Orang yang zuhud adalah orang yang ‘berpaling’ dari hal-hal yang bersifat duniawiah. Tidak selalu orang yang fakir atau miskin, tetapi orang kaya yang tidak disibukkan dengan harta dan kehidupan dunianya termasuk dalam kaum zahidin. Nabi Sulaiman AS yang memiliki harta berlimpah dan kekuasaan besar, termasuk terhadap bangsa jin, binatang, bahkan angin, adalah seorang nabi yang zuhud. Tetapi yang paling terkenal kezuhudannya adalah Nabi Isa AS. Begitu zuhudnya beliau ini, sampai ketika Iblis menuduhnya masih ‘memiliki’ dunia karena tidur berbantalkan sebuah batu, beliau melemparkan batu tersebut dan tidak pernah berbantalkan apapun ketika beliau tidur. Sedangkan Rasulullah SAW, bukan hanya seorang nabi yang zuhud, tetapi juga yang paling ma’rifat kepada Allah SWT.
Orang yang zuhud bisa dikatakan sebagai orang yang sangat memahami makna istirja’, yakni kalimat ‘Inna lillaahi wainnaa ilaihi raaji’un” (Sesungguhnya kita ini milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya), sebagaimana disitir dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 156. Mereka menyadari bahwa hal-hal duniawiah akan menyulitkan atau bahkan jadi penghalang ketika akan kembali kepada Allah, karena itu mereka ‘memilih’ untuk berpaling darinya. Kalaupun ada bagian dunia yang dimiliki dan diupayakannya, semata-mata untuk bekal dan penolongnya dalam beribadah dan berdoa kepada Allah, sehingga meringankannya pada yaumul hisab kelak dan akhirnya ia memperoleh derajad yang tinggi di sisi Allah.   

Note:ni9,aks115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar