Rabu, 10 Desember 2014

Nasehat ke 6, Mencari Ilmu dan Mencari Maksiat

Ali bin Abi Thalib berkata, “Barangsiapa yang mencari ilmu, maka surgalah yang dicarinya. Dan barangsiapa mencari maksiat, maka nerakalah yang dicarinya.”

Nasehat Ali bin Abi Thalib ini sudah sangat jelas, banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an dan juga sabda Nabi SAW yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan orang-orang yang mencari ilmu. Bahkan menuntut ilmu itu merupakan kewajiban (fardhu) yang sangat difardhukan. Nabi SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu sangat difardhukan (fariidhatan) atas setiap muslim.”
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menempuhkan (memudahkan) jalannya ke surga!!”
Dan masih banyak lagi hadits Nabi SAW lainnya.
Tetapi tentunya ‘ilmu’ yang dimaksud adalah ilmu yang mendorong seseorang untuk makin meningkatkan kualitas dan kuantitas ketakwaannya kepada Allah. Kalau dengan ilmu yang dicarinya itu ia hanya ingin menumpuk kekayaan duniawi, kemudian terlena dengan kesenangan duniawi semata hingga melalaikan akhiratnya, maka sama artinya ia tengah merintis jalan ke neraka dengan ilmu yang dicarinya tersebut. Apa yang dimaksudkannya dengan ‘mencari ilmu’, pada dasarnya ia sedang ‘mencari maksiat’ sebagaimana disitir pada nasehat tersebut di atas.
Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu, yang seharusnya ditujukan untuk mencari keridha’an Allah, ia mempelajarinya tidak untuk itu (mencari ridha Allah) tetapi untuk mendapatkan kedudukan/kekayaan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan baunya surga pada hari kiamat kelak.”
Baunya saja tidak dapat, apalagi memasuki surga. Padahal dalam riwayat lainnya Nabi SAW menjelaskan bahwa baunya surga bisa diendus dari jarak limaratus tahun perjalanan.
Begitu juga, seseorang mencari ilmu seharusnya untuk diamalkan, atau untuk memperbaiki kualitas ibadah yang dilakukannya. Jika ia ‘menumpuk’ ilmu hanya untuk berbangga-banggaan saja, atau untuk memperoleh penghargaan dari masyarakat, tanpa ia sendiri mengamalkannya, maka ia akan memperoleh siksaan yang luar biasa pedihnya pada hari kiamat kelak.
Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari kiamat akan didatangkan seorang alim kemudian dimasukkan ke dalam neraka, maka keluarlah isi perutnya lalu ia mengitarinya, sebagaimana keledai mengitari gilingan gandum. Maka para penghuni neraka (yang heran karena mengenalnya sebagai seorang yang alim) mendatanginya dan bertanya, ‘Mengapakah engkau ini?’ Ia menjawab, “Saya memerintahkan kebaikan tetapi saya tidak mengerjakannya. Dan saya melarang keburukan tetapi saya justru menjalankannya’.”

Note:ni6rs2-285iu1-27

Nasehat ke 5, Memikirkan Dunia dan Memikirkan Akhirat

Utsman bin Affan RA berkata, “Bingung memikirkan dunia akan menjadikan hati gelap, sedangkan bingung memikirkan akhirat akan menjadikan hati terang.”

Sebagai mahluk yang dibekali dengan akal, manusia tidak akan lepas dengan apa yang dinamakan proses ‘berfikir’. Tetapi karena manusia juga dibekali dengan nafsu, beberapa filosof menyebutkan bahwa manusia itu adalah ‘binatang’ yang berfikir. Selama masih normal, tidak ada seorang manusia kecuali ia akan selalu ‘berfikir’. Dalam berfikir, seseorang akan dipengaruhi oleh prioritas hidup yang ‘dipilih’-nya, sementara Allah memberikan ‘modal dasar’ yang sama, sebagaimana disitir dalam QS surah Asy-Syams 7-10 : Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Jalan kefasikan (fajir) didorong oleh nafsu, sedangkan jalan ketakwaan didorong oleh hati (qolbu). Nafsu dan hati bisa dikatakan sebagai dua sisi yang berlawanan, nafsu dalam keadaan aslinya, akan selalu menuntut untuk dipenuhi kesenangannya yang sesaat. Jika dibiarkan nafsu menguasai diri seseorang, maka hatinya akan menjadi gelap. Tetapi sebaliknya, jika seseorang mampu ‘mendidik’ nafsunya sehingga menjadi nafsu yang ‘muthmainnah’, maka hati nuraninya (qolbu) menjadi terang benderang, dan akan menjadi pusat kontrol dirinya.
Karena itulah, jika nafsu yang lebih dominan pada diri seseorang, maka proses berfikir dan aktivitas hidupnya akan lebih banyak ditujukan untuk kesenangan duniawiah semata-mata. Sebaliknya, jika hati (qolbu) yang lebih dominan pada diri seseorang, maka proses berfikir dan aktivitas hidupnya akan lebih banyak ditujukan untuk keselamatan dalam kehidupan akhirat. Kalaupun ada aktivitas duniawiahnya, semua itu ditujukan untuk mendukung ‘bekal’ akhiratnya.
Dengan nasehatnya tersebut, sahabat Utsman bin Affan RA tidak bermaksud agar kita ‘meninggalkan’ semua aktivitas kehidupan dunia (pekerjaan, kehidupan sosial, dll). Kita semua tahu bahwa beliau adalah seorang sahabat Nabi SAW yang juga seorang pedagang yang sukses, kalau sekarang bisa dibilang sebagai seorang ‘konglomerat’. Tetapi dengan kesibukannya itu beliau sama sekali tidak melalaikan kehidupan akhiratnya, bahkan sebagian besar harta hasil perdagangannya itu digunakan untuk membantu perjuangan Nabi SAW dan untuk kepentingan masyarakat, sebagaimana sahabat Abdurrahman bin Auf.
Tidak semua orang bisa sukses sebagaimana sahabat Utsman atau Ibnu Auf. Ada juga orang yang sangat ‘disibukkan’ dengan aktivitas duniawiah, padahal hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya saja, itupun terkadang masih kurang, bahkan tidak jarang pulang dengan tangan hampa. Bagi mereka ini, asalkan tidak meninggalkan kewajibannya kepada Allah dan berusaha untuk tidak terjatuh pada jalan yang diharamkan Allah, kesibukannya dalam aktivitas dunia bisa jadi malah meningkatkan derajadnya di akhirat. Kisah berikut ini mungkin bisa memberikan gambaran.
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjabat sebagai khalifah, bertemu dengan sahabat Salman al Farisi. Ali menyapanya, “Apa kabar dirimu, wahai Salman?”
Salman berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya sedang memikirkan empat kesusahan yang saya alami!!”
“Kesusahan apa?” Tanya Ali.
Salman berkata, “Kesusahan keluarga karena membutuhkan roti (makanan pokok), kesusahan karena perintah Allah untuk menjalankan taat, kesusahan karena godaan syetan yang selalu mengajak maksiat, dan kesusahan karena akan datangnya malaikat maut untuk mencabut nyawaku!!”      
Reaksi yang diberikan Ali sungguh mengejutkan, “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, pada setiap keadaan itu, engkau memiliki derajad (kedudukan utama) di sisi Allah”
Tentu saja Salman kebingungan melihat reaksi sahabat dan menantu Rasulullah SAW itu. Kemudian Ali menceritakan, bahwa ketika Nabi SAW masih hidup, suatu pagi ia bertemu dengan beliau dan beliau bersabda, “Bagaimana pagimu, ya Ali?”
“Wahai Rasulullah,” Kata Ali, “Saya berada dalam kesedihan karena memikirkan empat hal. Saya tidak memiliki apapun (untuk makan) kecuali hanya air, saya sedih dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah (apakah akan diterima?), saya sedih tentang balasan amal (apakah lebih banyak kebaikannya?), dan saya sedih akan datangnya malaikat maut (apakah akan khusnul khotimah?).”
Mendengar jawaban Ali tersebut, dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Bergembiralah wahai Ali, sesungguhnya kesedihan karena memikirkan keluarga adalah tabir dari neraka, dan kesedihan karena memikirkan ketaatan kepada Allah al Khaliq adalah (kunci) keamananmu dari azab, kesedihan karena memikirkan balasan amal adalah jihad, yang hal itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun, dan kesedihan karena memikirkan akan datangnya malaikat maut adalah kafarat (pelebur, penebus) dari dosa-dosamu. Ketahuilah, wahai Ali, rezeki Allah kepada hamba-Nya itu tidak karena kesedihan itu. Kesedihan tidak berpengaruh apa-apa (atas pembagian rezeki dari Allah) kecuali semakin menambah pahala. Jadilah orang yang bersyukur dan tawakal, niscaya engkau akan menjadi kekasih Allah!!”
Ali bertanya, “Dengan apa (atas apa)  saya bersyukur kepada Allah?
“Dengan Islam!!”
“Dengan apa saya taat?” Tanya Ali lagi.
“Ucapkanlah : Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…!!”
Ali bertanya lagi, “Apa yang harus saya tinggalkan?”
Nabi SAW bersabda lagi, “Tinggalkanlah kemarahan, karena hal itu akan menghilangkan amarah Tuhanmu, memberatkan timbangan amal (kebaikan) dan membawamu ke surga!!”
Mendengar penjelasan Ali tersebut, Salman berkata, “Sungguh saya benar-benar susah memikirkan hal itu, terutama tentang keluarga!!”
Tentu, maksud Salman bukanlah perasaan sedih atau susah karena menyesali keadaannya. Tetapi kesedihan dalam rangka mengharap berbagai kebaikan seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW tersebut. Menjalani hidup dalam kesedihan/kesusahan dengan ikhlas untuk menggapai kegembiraan di akhirat kelak.
Menanggapi ucapan Salman tersebut, Ali berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda : Barang siapa yang tidak pernah bersedih karena memikirkan keluarganya, ia tidak berhak mendapat surga!!”
Salman menyahuti, “Bukankah Rasulullah SAW juga bersabda : Orang yang memiliki keluarga tidak akan bahagia selamanya??”
“Bukan seperti itu (maksudnya), Salman,” Kata Ali, “Jika pekerjaanmu halal, maka surga akan selalu merindukan orang-orang yang bersedih dan nestapa dalam mencari rezeki yang halal, demi untuk menghidupi keluarganya!!”

Note:ni6mu95

Minggu, 09 November 2014

Nasehat ke 4, Keutamaan Abu Bakar RA dan Umar RA

Nabi SAW bertanya kepada Malaikat Jibril, “Sifatkanlah kepadaku tentang kebaikan Umar?” Jibril berkata, “Andai lautan menjadi tinta dan pohon-pohon menjadi pena (untuk menuliskannya), maka aku tidak akan mampu menghitungnya.” Kemudian Nabi SAW bertanya lagi, “Sekarang sifatkanlah kebaikan Abu Bakar!!” Jibril berkata, “Umar adalah salah satu kebaikan dari beberapa kebaikan Abu Bakar!!”   

Mayoritas para ulama berpendapat, bahwa dari sekian banyak sahabat (jumlahnya lebih dari seratus ribu), dua orang sahabat yang juga mertua Nabi SAW, Abu Bakar ash Shiddiq RA dan Umar bin Khaththab RA, adalah yang terbaik dan paling utama. Suri tauladan yang pertama dan utama tentulah Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, tetapi siapapun tidak ada yang akan bisa menyamai beliau, baik dari kalangan manusia, jin, bahkan para malaikat muqarrabin sekalipun. Meneladani perilaku dan akhlak para sahabat Nabi SAW, yang mendapat pengajaran dan bimbingan langsung , bisa juga dikatakan telah meneladani beliau.
Nabi SAW pernah bersabda, “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku, dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku!!”
Beliau juga bersabda lebih spesifik, “Ikutilah jejak langkah dua orang sesudah wafatku, Abu Bakar dan Umar!!”
Beliau juga pernah bersabda, “Tidak seorang nabi pun, kecuali ia memiliki dua wazir (pembantu) di langit dan dua wazir di bumi. Adapun wazir saya di langit adalah Jibril dan Mikail, sedang wazir saya di bumi adalah Abu Bakar dan Umar.”
Dan masih banyak hadits dan riwayat yang menunjukkan keutamaan mereka berdua, yang tidak mungkin dituliskan secara lengkap di sini.
Tentu saja, sebagaimana disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi SAW, pena tidak akan mampu menuliskan bagaimana kebaikan dua orang sahabat tersebut secara lengkap dan menyeluruh. Sedikit tentang apa dan bagaimana dua orang sahabat tersebut, mungkin bisa dibaca pada alamat blog ini : www.perciksahabatnabi.blogspot.com.
Untuk meringkas bagaimana keutamaan Abu Bakar, Nabi SAW pernah bersabda, "Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, akan lebih berat keimanan Abu Bakar."
Beliau juga pernah menyatakan, bahwa keutamaan Abu Bakar itu bukan karena lebih banyaknya shalat, puasa dan ibadah-ibadah (lahiriah) lainnya, tetapi terlebih karena sesuatu yang di dalam hatinya, yakni keimanan dan keyakinannya. Hal ini senada dengan apa yang disabdakan beliau tersebut di atas.
Akan halnya Umar bin Khaththab, mayoritas dari kaum muslimin akan sangat mengenal keadilan dan kesederhanaannya ketika ia menjadi khulafaur kasyidin yang kedua. Ketika Nabi SAW masih hidup, Umar termasuk sangat kritis dan banyak bertanya tentang sikap dan keputusan Nabi SAW. Ia memang termasuk sahabat yang cerdas dan pemberani, mungkin hal itu yang menyebabkan sikapnya seperti itu kepada Nabi SAW. Tetapi ia mulai berubah ketika ia mendapat ‘teguran keras’ dari Abu Bakar atas sikapnya dalam Perjanjian Hudaibiyah. Abu Bakar berkata kepadanya, “Patuhlah engkau pada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."   

Note:ni5tk9sn

Nasehat ke 3, Masuk ke Kubur (Mati) Tanpa Bekal

Abu Bakar Ash-Shiddiq RA berkata, “Barangsiapa yang masuk ke kubur tanpa membawa bekal, maka seolah-olah ia mengarungi lautan tanpa bahtera.”

Walaupun alam kubur itu sifatnya ghaib, tidak dapat dilihat dan dirasakan dengan panca indra, tetapi hampir tidak ada dari kita yang tidak mempercayai keberadaannya. Alam kubur bisa dikatakan sebagai ‘tempat persinggahan’ sebelum alam dunia ini digantikan dengan alam akhirat setelah terjadinya kiamat kelak. Karena itulah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA menasehatkan agar kita mempunyai bekal ketika akan masuk alam kubur. Kalau kita mati tanpa membawa amal kebaikan, digambarkan beliau, seolah-olah kita mengarungi lautan tanpa bahtera.
Apa yang dinasehatkan Abu Bakar tersebut sejalan dengan apa yang disabdakan Nabi SAW, “Tidaklah mayit itu di dalam kuburnya, kecuali seperti orang yang tenggelam yang minta pertolongan!!”
Sekarang ini, dimana materialisme, konsumerisme dan hedonisme menjadi tolok ukur kehidupan, seolah-olah alam kubur itu diabaikan, walau tampak begitu ‘nyata’ di depan mata. Banyak di antara kita yang mengiring jenazah ke kubur, tetapi sama sekali tidak ‘merasa’ bahwa suatu saat kitalah yang ‘diusung’ dalam keranda dan diuruk dalam tanah, sendirian saja, lalu akan dibangunkan kembali untuk menghadapi pertanyaan kubur oleh malaikat Munkar dan Nakir. Tidak masalah jika kita mempunyai bekal amal kebaikan yang cukup, jika tidak bagaimana nasib kita di alam kubur?
Utsman bin Affan RA, sahabat dan juga menantu Rasulullah SAW, ketika ia menjadi khalifah selalu saja menangis ketika ada orang-orang yang menyebutkan sifat dan keadaan alam kubur, padahal ketika disebutkan sifat neraka dan kesengsaraan di yaumul makhsyar (kiamat), beliau tidak sampai menangis. Pernah salah seorang sahabat menanyakan hal itu, maka beliau berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi SAW bersabda, bahwa alam kubur itu adalah pos (manzilah) pertama dari pos-pos (manazil) akhirat. Kalau seseorang selamat pada pos pertama itu (yakni di alam kubur), maka pos berikutnya akan lebih mudah daripadanya. Tetapi kalau ia tidak selamat di alam kubur itu, maka pos berikutnya akan lebih berat daripadanya!!”
Dalam riwayat lain disebutkan, Utsman berkata, “Bila aku berada di neraka, aku masih bersama manusia, begitu juga ketika aku harus menghadapi kesengsaraan di alam makhsyar. Tetapi ketika di alam kubur, aku hanya sendirian saja, tidak seorangpun yang menemani diriku…!!”
Sesungguhnyalah kekhawatiran beliau itu sangat tidak beralasan, karena amal kebaikan yang dijalankan dan shadaqah yang pernah dikeluarkan sudah lebih dari cukup untuk bekal di alam kuburnya, bahkan beliau salah satu dari 10 sahabat yang telah dijamin masuk surga. Setelah infaq yang beliau keluarkan untuk Perang Tabuk (Jaisyul ‘Usra), Nabi SAW bersabda, “Tidak ada yang membahayakan Utsman karena apa yang dilakukannya (diinfaqkannya) setelah hari ini!!”
Walau hanya persinggahan, di dalam kubur juga terdapat siksa dan nikmat kubur, tergantung bagaimana amal yang dilakukan sang jenazah ketika di dunia. Mereka yang amal kebaikannya hanya sedikit atau tidak ada sama sekali, mereka inilah yang digambarkan oleh Abu Bakar seperti orang yang mengarungi samudra tanpa bahtera, atau digambarkan Nabi SAW seperti orang yang tenggelam membutuhkan pertolongan. Bisa dibayangkan bagaimana berat dan sulitnya keadaan yang dihadapi oleh orang yang seperti itu. Kalau tidak karena pertolongan Allah, tentulah mereka ini tidak akan bisa selamat, kesengsaraan dan siksaan yang berat akan terus dialaminya di alam kubur hingga tibanya hari kiamat. Naudzubillahi min dzaalik!!
Nabi SAW bersabda, bahwa bila jenazah seorang mukmin dimasukkan ke dalam kubur (dan telah ditutupi/diuruki dengan tanah), maka datanglah dua malaikat penanya kubur, mereka mendudukkan mayat tersebut, dan sesungguhnya ia masih bisa mendengar suara sandal para pengantarnya meninggalkan pemakaman. Dua malaikat itu bertanya kepadanya, “Siapakah Tuhanmu, apa agamamu, dan siapa Nabimu?”
Ia akan berkata, “Allah Tuhanku, Islam agamaku, dan Muhammad Nabiku!!”
Dua malaikat itu berkata, “Allah meneguhkan dirimu, tidurlah dengan penuh sukacita!!”
Nabi SAW bersabda menjelaskan, “Itulah maksud dari firman Allah : Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di dunia dan di akhirat (QS Ibrahim 27). Yakni, meneguhkan (orang mukmin) dengan ucapan yang benar (haqq), dan akan menyesatkan orang-orang yang menganiaya diri sendiri, yakni kaum kafirin dan dholimin, tidak memberikan pertolongan untuk bisa mengucapkan perkataan yang haqq..!!”
Dan ketika jenazah orang yang kafir atau munafik dimasukkan ke dalam kubur, dua malaikat itu akan bertanya , “Siapa Tuhanmu, apa agamamu, dan siapa Nabimu?”
Ia akan menjawab, “Aku tidak tahu!!”
“Engkau tidak tahu??” Kata dua malaikat itu, kemudian ia dipukul dengan batang besi, sehingga ia berteriak sangat kerasnya, dengan teriakan yang bisa didengar oleh semua mahluk di dunia, kecuali jin dan manusia.
Ada beberapa riwayat senada dengan penjabaran yang lebih lengkap, yakni ketika hamba mukmin sakaratul maut, beberapa malaikat menjemput dengan membawa kain sutera halus dan minyak wangi, untuk membawa nyawanya menghadap Allah. Para malaikat di setiap lapisan langit menyambut dan memuji-mujinya, dan setelah Allah menetapkan tempatnya di (surga) Illiyyin, ia dibawa kembali ke bumi, yakni ke kuburnya, kemudian bertemu dengan malaikat Munkar Nakir. Karena jawabannya benar, kuburnya diluaskan dan ditampakkan hamparan surga yang penuh kenikmatan. Kemudian datang seorang lelaki tampan dan berbau harum, yang ketika ditanya, ia menjawab, “Aku adalah amal salehmu selama di dunia!!”
Jika yang meninggal hamba yang kafir atau dholim, ketika sakaratul maut, beberapa malaikat berwajah hitam menakutkan menjemput, dengan membawa suatu cairan. Nyawa keluar dengan cara yang sangat menyakitkan. Malaikat mencelup nyawanya ke dalam cairan yang dibawanya sehingga baunya seperti bangkai yang busuk. Dan ketika dibawa naik, pintu langit tidak ada yang terbuka, dan turunlah ketentuan Allah bahwa ia tempatnya adalah di (neraka) Sijjin. Setelah itu nyawanya dilemparkan ke bumi, yakni ke kuburnya, kemudian bertemu dengan malaikat Munkar Nakir. Karena jawabannya tidak benar, kuburnya disempitkan dan ditampakkan kepadanya hamparan neraka, sehingga ia merasakan panas dan kesengsaraannya sebelum ia akan memasukinya nanti. Kemudian datang seorang lelaki jelek, berbaju jelek dan berbau sangat busuk, yang ketika ditanya, ia menjawab, “Aku adalah amal jelekmu selama di dunia!!”
Wallahu A’lam.


Kamis, 16 Oktober 2014

Nasehat ke 2, Bergaul dengan Ulama, Mendengarkan Hukama

Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian bergaul (bermajelis) dengan para Ulama, dan mendengarkan ucapan para Hukama, karena Allah menghidupkan kembali hati yang mati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Dia menghijaukan tanah yang gersang dengan air hujan.”

Secara umum, arti ‘ulama’ adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang luas, khususnya ilmu pengetahuan agama Islam. Tetapi secara spesifik, para ulama membaginya menjadi istilah ‘ulama’ dan ‘hukama’. Ada juga yang menambahkan satu lagi, yakni ‘kubara’. Ulama adalah orang-orang berilmu (alim) tentang hukum-hukum Allah (Fiqih), yang mengamalkan ilmunya dan berhak memberikan fatwa-fatwa sehubungan hukum-hukum Agama yang bersifat lahiriah. Sedang Hukama adalah orang-orang berilmu tentang Dzat Allah dan sifat-sifat bathiniah dari amal lahiriah, dan lebih banyak berkecipung dalam hal akhlak dan adab (tata-krama). Adapun kubara, adalah seseorang yang diberi anugerah Allah sebagai ulama sekaligus sebagai hukama.
Dengan bergaul dan bermajelis dengan  para ulama, akan terjaga dan selamatlah amal-amal ibadah kita. Kita akan mengetahui batasan halal dan haram, sah dan tidaknya suatu amal ibadah, benar dan tidaknya suatu muamalah, dan lain-lainnya. Tetapi dengan hanya ‘memegangi’ hukum-hukum fiqih semata, akan terasa ‘kering (gersang)’ ibadah yang kita lakukan. Bisa saja ibadah kita ‘sah’, tetapi mungkin saja ‘tidak diterima’ karena kita tidak memperhatikan ‘tata kelola hati’ dalam menjalankan ibadah tersebut. Para hukama itulah yang selalu memperhatikan ‘tata kelola hati’, atau sering disebut dengan Manajemen Qalbu dalam pelaksanaan ibadah dan muamalah, bahkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Dengan mendengarkan ucapan para hukama, akan selamatlah kita dari berbagai penyakit hati, seperti takabur/sombong, ujub, merasa bersih diri dan lain-lainnya. Yang membuat Iblis menjadi mahluk terkutuk dan terusir dari surga, bukanlah karena ia tidak beribadah dan tidak beriman kepada Allah. Iblis yang saat itu masih bernama Azazil, adalah jenis jin yang mempunyai ibadah dan pengenalan (ma’rifat) kepada Allah yang sangat luar biasa, sehingga ia bisa mencapai derajad yang tinggi di sisi Allah, melebihi para malaikat. Tetapi hanya karena satu kesalahan, yakni bersikap sombong dan merasa lebih baik daripada Adam yang baru saja diciptakan Allah, ia jatuh terpuruk pada derajad terbawah, bahkan terkutuk hingga akhir zaman.
Nabi SAW menegaskan pentingnya mendengarkan ucapan para hukama ini karena akan bisa menghidupkan hati, seperti halnya tanah gersang yang kembali hijau dan segar kembali karena turunnya hujan. Sebuah pembicaraan panjang lebar antara Nabi SAW dengan sahabat Mu’adz bin Jabal berikut ini mungkin bisa memberikan gambaran.
Suatu malam Mu'adz bermaksud menemui Rasulullah SAW, tetapi ternyata beliau sedang mengendarai unta, entah hendak pergi kemana? Melihat kedatangannya, beliau meminta Mu'adz naik ke belakang beliau, berboncengan berdua, untapun melanjutkan perjalanan. Beliau memandang ke langit, setelah menyanjung dan memuji Allah SWT, beliau bersabda kepada Mu'adz, "Wahai Mu'adz, aku akan menceritakan suatu kisah kepadamu, jika engkau menghafalnya akan sangat berguna bagimu. Tetapi jika engkau meremehkannya, engkau tidak akan punya hujjah (argumentasi) di hadapan Allah kelak."
Nabi SAW menceritakan, bahwa sebelum penciptaan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh malaikat. Setelah bumi dan langit tercipta, Allah menempatkan tujuh malaikat tersebut pada pintu-pintu langit, menurut derajat dan keagungannya masing-masing. Allah juga menciptakan malaikat yang  mencatat dan membawa amal kebaikan seorang hamba ke langit, menuju ke hadirat Allah, yang disebut dengan malaikat hafadzah.
Suatu ketika malaikat hafadzah membawa ke langit, amalan seorang hamba yang berkilau seperti cahaya matahari. Ketika sampai di langit pertama, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit pertama itu berkata, "Tamparkan amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah penjaga (penyeleksi) orang-orang yang suka mengumpat (ghibah, jawa: ngerasani). Aku ditugaskan untuk menolak amalan orang yang suka ghibah. Allah tidak mengijinkannya melewatiku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat banyak dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah. Ketika sampai di langit kedua, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke dua itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya, sebab ia beramal dengan mengharap duniawiah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan seperti ini dan melarangnya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat memuaskannya, penuh dengan sedekah, puasa dan berbagai kebaikan lainnya, yang dianggapnya sangat mulia dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama dan kedua karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah dan tidak mengharapkan balasan duniawiah.
Ketika sampai di langit ke tiga, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tiga itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga kibr (kesombongan), Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka sombong (bermegah-megahan) dalam majelis. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar seperti bintang kejora, bergemuruh karena penuh dengan tasbih, puasa, shalat, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama, ke dua dan ke tiga karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah dan juga tidak sombong.
Ketika sampai di langit ke empat, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke empat itu berkata "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat ujub (bangga diri). Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang disertai ujub. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat mulia, terdiri dari jihad, haji, umrah dan berbagai kebaikan lainnya sehingga sangat cemerlang seperti matahari. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke empat, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong dan juga tidak ujub dalam beramal.
Ketika sampai di langit ke lima, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke lima itu berkata "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat hasud (iri dengki). Meskipun amalannya sangat baik, tetapi ia suka hasud kepada orang lain yang mendapatkan kenikmatan Allah. Itu artinya ia membenci Allah yang memberikan kenikmatan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat sempurna dari wudhu, shalat, puasa, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke lima, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, dan juga tidak suka hasud pada orang lain.
Ketika sampai di langit ke enam, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke enam itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga sifat rahmah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang tidak pernah mengasihani (bersikap rahmah kepada) orang lain. Bahkan jika ada orang yang ditimpa musibah, ia merasa senang. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar-sinar seperti kilat menyambar dan bergemuruh laksana guruh menggelegar, terdiri dari shalat, puasa, haji, umrah, wara’, zuhud dan berbagai amalan hati lainnya. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke enam, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, dan juga seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya.
Ketika sampai di langit ke tujuh, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tujuh itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke muka pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat sum’ah (suka pamer). Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka memamerkan amalannya untuk memperoleh ketenaran, derajad dan pengaruh terhadap orang lain. Amalan seperti ini adalah riya', dan Allah tidak menerima ibadahnya orang yang riya'. Allah tidak mengijinkannya melewati aku  untuk sampai ke hadirat Allah SWT."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, akhlak mulia, pendiam suka berdzikir, dan beberapa lainnya yang tampak sangat sempurna. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke tujuh karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya, dan juga tidak suka memamerkan amalannya (sum’ah). Para malaikat dibuat terkagum-kagum sehingga mereka ikut mengiring amalan itu itu sampai di hadirat Allah SWT.
Ketika amal tersebut dipersembahkan malaikat hafadzah, Allah berfirman, "Hai malaikat hafadzah, Aku-lah yang mengetahui isi hatinya. Ia beramal bukan untuk Aku tetapi untuk selain  Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk-Ku. Aku lebih mengetahui daripada kalian, dan Aku laknat mereka yang menipu orang lain dan menipu kalian (malaikat hafadzah, dan malaikat-malaikat lainnya yang menganggapnya sebagai amalan hebat), tetapi Aku tidak akan tertipu olehnya. Aku-lah yang mengetahui hal-hal ghaib, Aku mengetahui isi hatinya. Yang samar, tidaklah samar bagi-Ku, Yang tersembunyi, tidaklah tersembunyi bagi-Ku. Pengetahuan-Ku  atas segala yang telah terjadi, sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang belum terjadi. Ilmu-Ku atas segala  yang telah lewat, sama dengan Ilmu-Ku atas segala yang akan datang. Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang terdahulu, sama dengan Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang kemudian. Aku yang paling mengetahui segala sesuatu yang samar dan rahasia, bagaimana bisa hamba-Ku menipu dengan amalnya. Bisa saja mereka menipu mahluk-Ku tetapi Aku Yang Mengetahui hal-hal yang ghaib….tetaplah laknat-Ku atas mereka…!!"
Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat juga berkata, "Ya Allah, kalau demikian keadaannya, tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka….!!"
Kemudian para malaikat dan seluruh penghuni langit berkata, "Ya Allah,  tetaplah laknat-Mu dan laknat orang-orang yang melaknat atas mereka…!!"
Begitulah, panjang lebar Nabi SAW menceritakan kepada Mu'adz bin Jabal, dan tanpa terasa ia menangis tersedu-sedu di boncengan unta beliau. Ia berkata di sela tangisannya, "Ya Rasulullah, bagaimana aku bisa selamat dari semua yang engkau ceritakan itu??" 
"Wahai Mu'adz, ikutilah Nabimu dalam masalah keyakinan!!" Kata Nabi SAW.
"Engkau adalah Rasulullah, sedangkan aku hanyalah Mu'adz bin Jabal. Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari semua itu…" Kata Mu'adz.
"Memang begitulah,” Kata Nabi SAW, “Jika ada kelengahan dalam ibadahmu, jagalah lisanmu agar tidak sampai menjelekkan orang lain, terutama jangan menjelekkan ulama….."
Panjang lebar Nabi SAW menasehati Mu'adz bin Jabal, yang intinya adalah menjaga lisan dan hati, jangan sampai melukai dan menghancurkan pribadi orang lain. Akhirnya beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, yang aku ceritakan tadi akan mudah bagi orang yang dimudahkan Allah. Engkau harus mencintai orang lain sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Bencilah (larilah) dari sesuatu yang engkau membencinya (yakni, akibat buruk yang diceritakan Nabi SAW  di atas), niscaya engkau akan selamat…!"
Rasulullah SAW tahu betul bahwa Mu'adz bin Jabal sangat mengetahui hukum-hukum Islam (Fikih), yang pada dasarnya bersifat lahiriah. Dengan menceritakan kisah tersebut, beliau ingin melengkapi pengetahuan dan pemahamannya dari sisi batiniah, sehingga makin sempurna pengetahuan keislamannya. Dan tak salah kalau kemudian Nabi SAW pernah bersabda, "Mu'adz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama di hari kiamat….!"

Note: ni3,ma

Nasehat ke 1, Iman dan Kemanfaatan bagi Muslimin

Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua perkara yang tidak ada sesuatu yang melebihi fadhilahnya (keutamaannya), yakni beriman kepada Allah dan membuat sesuatu yang bermanfaat bagi kaum muslimin.

Iman kepada Allah adalah batasan, apakah seseorang itu celaka selamanya di neraka atau pada akhirnya bisa ‘diangkat’ dari jurang kesengsaraan itu menuju ke surga. Karena itulah Nabi SAW pernah bersabda kepada Abu Thalib, ketika paman beliau itu dalam keadaan sekarat, “Wahai Paman, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah, satu kalimat yang bisa engkau jadikan hujjah di sisi Allah!!”
Tetapi sejarah membuktikan bahwa Abu Thalib tidak mengikuti anjuran Nabi SAW, sehingga ia kekal di neraka. Padahal hampir 45 tahun hidupnya dihabiskan bersama Nabi SAW, termasuk merawat dan menjaga beliau sejak usia 8 tahun. Tigabelas tahun lamanya ia menjadi ‘pembela utama’ Nabi SAW ketika mendakwahkan Islam di Makkah. Beliau pernah ditanya tentang keadaan Abu Thalib di akhirat kelak, dan beliau bersabda, “Dia berada di neraka yang dangkal. Kalau tidak karena aku, tentu dia berada di tingkatan neraka yang paling bawah.”
Dalam riwayat lainnya, beliau pernah bersabda, “Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat kelak, sehingga dia (Abu Thalib) diletakkan di neraka yang dangkal, hanya sebatas tumitnya saja!!”
Beberapa ulama berpendapat, walau hanya sebatas tumit yang terkena api neraka, tetapi otak yang ada di kepalanya sampai mendidih. Wallahu A’lam.      
Tentu saja, keimanan dimaksud adalah keimanan yang sebenar-benarnya, tulus dari lubuk hati yang paling dalam, tidak hanya sekedar ‘lips service’, pengakuan di mulut semata. Pengakuan (syahadat) di lisan, yang diikuti dengan pembenaran dalam hari, dan pada akhirnya diwujudkan dalam amal perbuatan.
Dalam Al Qur’an, Surat Al Hujurat 14-15 dijelaskan : Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah (wahai Muhammad) : "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk (Islam)', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (keimanannya)."
Tentang keutamaan ‘membuat kemanfaatan bagi kaum muslimin’, karena hal itu sejalan dengan misi diutusnya Rasulullah SAW, yakni rahmatan lil ‘alamin. Nabi SAW pernah bersabda, “Hamba-hamba yang paling dicintai Allah adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesama manusia. Sebaik-baiknya amal adalah memasukkan (memunculkan) rasa gembira pada hati seorang mukmin, yakni menghilangkan kelaparan dari dirinya, menyingkapkan kesulitan yang dialaminya, atau membayar hutang-hutangnya. Dan tidak ada yang lebih jahat (buruk) dari dua hal, yakni menyekutukan Allah (musyrik) dan mendatangkan bahaya (keburukan) kepada kaum muslimin.”
Dua hal tersebut, beriman kepada Allah dan membuat kemanfaatan bagi kaum muslimin, atau bisa disebut bersikap dermawan, bila berjalan beriringan akan ‘memuluskan’ jalan ke surga. Dermawan tidak harus selalu dengan harta, karena secara sunnatullah, tidak semua orang memiliki kelebihan harta (kaya). Bisa saja ‘berderma’ dengan tenaganya, pikirannya, ilmunya, dengan kelapangan hati memaafkan orang lain, senyuman dan lain-lain. Bahkan untuk hal sepele seperti menyingkirkan duri dari jalanan, Nabi SAW telah menyebutkannya sebagai salah satu dari 70 cabang iman, karena hal itu memang bermanfaat bagi orang lainnya. Wallahu A’lam.

Note : Ni2,sn159,etc