Kamis, 20 Oktober 2016

Nasehat ke 16, Syahwat dan Sabar Bisa Mengubah



Seorang Ulama berkata, “Sesungguhnya syahwat itu bisa mengubah raja menjadi hamba, dan kesabaran itu bisa mengubah hamba menjadi raja. Bukanlah engkau telah melihat kisah Yusuf dan Zulaikha.”

Syahwat adalah kesenangan nafsu yang segera dan sesaat, yang seringkali melupakan bahaya dan kemelaratan yang bisa terjadi setelahnya, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Sedang kesabaran adalah ketabahan, kesediaan untuk mengalami kesusahan dan beratnya perjuangan, meninggalkan berbagai kesenangan, untuk bisa mewujudkan apa yang dicita-citakan. Kita mengenal suatu peribahasa yang menggambarkan kesabaran, yaitu : Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
Orang yang menyukai sesuatu dan berharapan untuk memilikinya, maka ia akan menjadi hamba sesuatu itu. Tentunya tidak masalah jika sesuatu itu adalah kesenangan abadi, kenikmatan akhirat sebagaimana dijanjikan Allah SWT dan Rasulullah SAW, karena hal itulah yang justru diperintahkan, meletakkan kecintaan yang utama kepada Allah dan Rasulullah SAW. Dan ini bisa dikatakan sebagai kesabaran yang sebenarnya, tidak sekedar sabar untuk memperoleh derajad dan keuntungan di dunia, walau sebagai seorang raja sekalipun.
Jika sesuatu yang menjadi kecintaan adalah kesenangan syahwat, maka ia benar-benar menjadi seorang hamba, seorang budak semata walau secara lahiriah ia bergelimang dengan harta kekayaan dan jabatan tinggi, bahkan sebagai seorang raja. Semua kesenangan itu hanya sesaat, segera setelah nyawanya dicabut Malaikat Izrail dan memasuki alam kubur, hanya kesengsaraan yang akan dialaminya. Bahkan tidak jarang ia tidak bisa menikmati kesenangan duniawiah yang telah dikumpulkan dan diupayakannnya karena berbagai penyakit yang dideritanya.   
Dalam kisah Nabi Yusuf AS ketika masa remajanya di Mesir, beliau hanyalah seorang budak di rumah seorang pembesar kerajaan yang bernama Qithfir. Istri Qithfir yang bernama Zulaikha, seorang putri jelita dan berkedudukan tinggi, ternyata terpikat oleh ketampanan dan kemudaan beliau. Tidak sekedar terpikat, Zulaikha juga memperturutkan godaan syahwatnya untuk bisa memiliki dan ‘bersenang-senang’ dengan Yusuf, bahkan tidak segan untuk ‘menjebak’ beliau dalam suatu kamar tertutup. Tetapi Allah melindungi beliau sehingga tidak terjatuh dalam jebakannya. Zulaikha sempat berdalih bahwa semua itu adalah keinginan Yusuf, tetapi akhirnya Qithfir mengetahui bahwa istrinya yang bersalah, dan rusaklah namanya di mata suaminya itu.
Ketika kaum wanita di Mesir mengetahui tipu daya yang dijalankan Zulaikha, merekapun mencemoohkan dirinya, hingga makin jatuhlah namanya dalam pandangan masyarakat Mesir. Walau kemudian ia bisa membalaskan dendamnya dalam suatu skenario ‘jamuan buah dan pisau tajam’ sembari menampilkan Yusuf di antara wanita-wanita itu, tetapi citra dirinya sebagai wanita terhormat tidak serta merta tertolong.
Akan halnya Nabi Yusuf, walau pada dasarnya beliau tidak bersalah, tetapi statusnya sebagai budak membuat beliau tetap saja menjadi ‘terdakwa’ dalam kasus tersebut. Tidak ada pilihan kecuali beliau harus bersabar, kesabaran yang bisa dikatakan telah menjadi ‘keseharian’ beliau sejak masik anak-anak, karena kedengkian saudara-saudaranya. Bahkan ketika beliau harus masuk penjara setelah skenario yang dijalankan Zulaikha terhadap wanita-wanita di Mesir itu, beliau menjalaninya dengan penuh kesabaran. Dan justru dari penjara inilah akhirnya beliau menjadi pembesar kerajaan hanya karena impian sang Raja Mesir. .

Note:ni11,qa37

Nasehat ke 15, Jika Lisan dan Hati Rusak



Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Daratan adalah lisan dan lautan adalah hati. Apabila lisan rusak, maka pribadi-pribadi manusia akan menangisinya, dan apabila hati yang rusak, maka para malaikat yang akan menangisinya…!”

Ketika Abu Bakar Ash Shiddiq RA membaca Al Qur’an dan sampai pada ayat ke 41 dari surat Ar-Rum, yakni : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Maka beliau berkata seperti tersebut di atas, seolah-olah memberikan tafsiran sesuai dengan pandangan dan pemahaman beliau.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dari tahun ke tahun hingga masa sekarang ini, kerusakan yang terjadi di daratan dan di lautan makin parah saja. Baik kerusakan yang sifatnya lingkungan, terlebih lagi yang sifatnya moralitas. Ironinya, kerusakan itu terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah manusia dan makin tingginya intelektualitas mereka. Dan semua itu seolah-olah ‘disahkan’ atas nama modernitas dan hak-hak asasi manusia. Telah begitu banyak aktivis yang menyuarakan dan memperjuangkan agar semua itu dihentikan, tetapi upaya-upaya mereka itu hanya mampu memperlambat saja. Bahkan tidak jarang mereka menjadi martir (korban) dari pejuangannya, sementara ‘perusakan’ berjalan terus, terkadang malah mendapat legalitas dan ‘payung hukum”.
Secara umum, ketika kita membaca QS Ar Rum 41 tersebut pemahaman kita akan dibawa pada salah satu bentuk ‘ramalan’ Al Qur’an tentang keadaan yang akan terjadi jauh di masa depan, khususnya masalah lingkungan. Hutan hijau yang menjadi ‘paru-paru’ dunia jauh berkurang, lautan (pantai-pantai) diurug dan direklamasi, hutan bakau lenyap tanpa bekas. Sedikit demi sedikit suhu bumi naik (global warming), yang berakibat gugusan gunung-gunung es di kutub akan berangsur mencair. Akhirnya manusia sendiri yang akan merasakan kesulitan dalam hidupnya. Seperti inilah umumnya pemahanan kita tentang ayat tersebut.
Sedangkan Abu Bakar ash Shiddiq RA menafsirinya dalam bentuk ‘jagad kecil’, yakni diri manusia, tidak sekedar ‘jagad besar’, lingkungan hidup manusia di bumi. Beliau menggambarkan bahwa : Daratan (barri) adalah lisan dan lautan (bahri) adalah hati. Apabila lisan rusak, maka pribadi-pribadi manusia akan menangisinya, dan apabila hati yang rusak, maka para malaikat yang akan menangisinya. Dalam hal ini, beliau menafsiri daratan dan lautan dalam kontek moralitas.
Lisan dan hati adalah dua bagian yang amat penting pada diri manusia, dua bagian kecil dibanding keseluruhan tubuhnya, tetapi sangat menentukan bagaimana ‘nilai’ dirinya. Baik dalam kehidupan dunia, terlebih dalam kehidupan akhiratnya. Lisan mewakili lahiriah sedang hati mewakili bathiniah, tetapi pada dasarnya mempunyai ‘tugas utama’ yang terhubung, yakni dzikrullah (selalu mengingat Allah), hanya saja tidak selalu yang satu mencerminkan yang lainnya. Tidak jarang ada manusia yang lisannya begitu baik dan memikat, tetapi hatinya rusak. Tetapi ketika lisannya telah rusak, kebanyakan (walau tidak selalu) hatinya juga telah rusak.
Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai macam perbedaan. Baik berbeda suku dan bangsa, warna kulit, tinggi badan, bentuk mata, kebiasaan, makanan, dan banyak perbedaan lainnya, termasuk secara umum keindahan (cantik/tampan dan jeleknya) wajahnya. Walau secara umum, perbedaan tersebut telah memberikan nilai beda bagi manusia, tetapi di sisi Allah, nilai kemuliaannya terletak pada ketakwaannya (QS Al Hujurat 13). Dan pada dasarnya hal itu akan ‘diwakili’ oleh lisan dan hatinya.
Betapa banyak kita menjumpai keadaan seseorang yang memiliki ‘kesempurnaan’ secara lahiriah, tetapi tidak mampu menjaga lisannya, maka ia akan jatuh pada pandangan manusia. Dari lisannya seringkali keluar kata-kata yang menghujat dan menyakiti, sombong dan merendahkan orang lain, seolah-olah hanya dia saja yang benar dan manusia terbaik. Tidak jarang pula keluar perkataan kotor dan jahat yang tidak sesuai dengan norma susila, budaya dan agama. Lisannya yang kecil itu telah menjatuhkan nilai kemanusiaannya, sungguh sangat bertolak belakang dengan penampilannya. Dalam keadaan seperti inilah para manusia biasanya ‘menyayangkan’ keadaan dirinya, Abu Bakar menyebutnya dengan ‘menangisinya’.  
Hati adalah bagian dari diri manusia yang tidak terduga, pantaslah kalau Abu Bakar RA mengibaratkannya sebagai lautan. Bahkan telah terkenal sebuah peribahasa ‘Dalamnya lautan bisa diduga, tetapi hati seseorang siapa yang tahu?’ Imam Al Ghazali mengatakan bahwa hati itu ibarat raja dalam ‘kerajaan’ manusia, yang akan menentukan corak dan keadaan dirinya. Selamat atau tidaknya seseorang itu di akhirat kelak, sangat tergantung bagaimana keadaan hatinya.
Secara fitrah hati manusia adalah baik, dan disiapkan untuk sumber kebaikan bagi manusia. Iman dan takwa terletak di dalam hati, kemudian memancar (mewujud) ke seluruh bagian tubuhnya. Tetapi ‘musuh-musuh laten’ tidak pernah berhenti dan beristirahat untuk menyesatkan manusia, mereka cukup lihai ‘memanfaatkan’ dua hal yang kebanyakan manusia menjadi lemah karenanya, yakni kesenangan hawa nafsu dan kenikmatan duniawiah. Oleh karena itulah Iblis dan bala-tentaranya dari bangsa syetan memfokuskan dirinya untuk menggoda dan menyesatkan manusia dari sisi hatinya.
Para malaikat tahu persis bagaimana kemuliaan manusia dibanding mahluk Allah lainnya. Bahkan untuk itu mereka diperintahkan Allah untuk sujud (penghormatan) kepada Nabi Adam AS yang menjadi ‘bapak’ bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksikan hati manusia menjadi rusak karena memperturutkan hawa nafsu dan bergelimang dengan kesenangan duniawiah semata, hari esok (masa depan) yang sebenarnya, yakni hari akhirat terlupakan, mereka menyayangkan dan menangisinya. Hati manusia yang fitrahnya suci jadi penuh dengan penyakit yang menggerogotinya, semisal tamak, dengki, takabur, ujub, egois, sok berkuasa, tidak punya rasa kasih sayang, dan lain sebagainya. 

Note:ni10

Selasa, 26 Januari 2016

Nasehat ke 14, Mengenal Allah dan Mengenal Diri Sendiri



Seorang Ulama berkata, “Barang siapa yang mengira bahwa ia mempunyai penolong yang lebih utama (hebat) daripada Allah, maka ia hanya sedikit mengenal Allah. Dan barangsiapa yang mengira bahwa ia mempunyai musuh yang lebih kejam daripoda hawa nafsunya, maka ia hanya sedikit mengenal dirinya sendiri.”

            Tujuan utama dari diciptakannya manusia (dan juga jin) adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana disitir dalam QS Adz Dzariyat 56. Tetapi dari masa ke masa, sedikit sekali manusia (dan juga jin) yang BISA mengaplikasikannya secara utuh. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan karena sejak awal diciptakannya Nabi Adam AS, Iblis telah memproklamirkan dirinya untuk memusuhi beliau dan anak keturunannya. Ketika ia dilaknat Allah karena menolak untuk sujud (penghormatan) kepada Nabi Adam AS, ia bersumpah untuk menyesatkan manusia (dan juga jin) dengan segala macam cara dan dari segala arah, untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman di neraka, yang telah ditetapkan Allah sebagai tempat tinggalnya.        
            Perjalanan utama manusia adalah kembali ke tempat asal nenek moyangnya, yakni Nabi Adam AS yang ditempatkan di surga pada awal diciptakan. Dan tentunya tujuan yang lebih tinggi daripada itu adalah kembali kepada Allah, yakni ma’rifat kepada Allah. Tetapi perjalanan itu tidaklah mudah, karena di samping Iblis sebagai musuh, Allah juga membekali manusia dengan hawa nafsu demi untuk kelangsungan hidupnya, yang secara naluriah selalu ingin merasakan kesenangan yang segera dan sesaat. Susah sekali bagi kita mengajak hawa nafsu untuk ‘bersusah-payah’ mengikuti jalan ibadah menuju Allah dan mengabaikan kesenangannya, demi kesenangan dan kenikmatan abadi di akhirat kelak. Dunia dan segala gemebyarnya saat ini lebih memikat hawa nafsu kita daripada kesenangan yang sempurna tanpa batas di surga kelak.
Ketika Allah telah selesai menciptakan surga dan neraka, Allah berfirman kepada Malaikat Jibril, “Pergilah ke surga, dan lihatlah apa yang telah Aku persiapkan untuk penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril memenuhi perintah tersebut, dan beberapa waktu kemudian ia datang menghadap kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun yang pernah mendengar tentang surga tersebut, kecuali ia sangat ingin memasukinya!!”
Kemudian Allah memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) surga tersebut dengan hal-hal yang tidak disukai, dan berbagai macam perintah peribadatan yang harus dilakukan untuk bisa memasukinya. Setelah semua itu selesai, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk sekali lagi melihat keadaan surga. Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi segala keagungan-Mu, ya Allah, aku khawatir tidak seorangpun yang akan mampu untuk memasukinya!!”
Setelah itu Allah berfirman lagi kepada Malaikat Jibril, “Pergilah ke neraka, dan lihatlah apa yang telah Aku persiapkan untuk para penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril memenuhi perintah tersebut, dan ia melihat api neraka itu saling menerkam sebagian atas sebagian lainnya. Beberapa waktu kemudian ia datang menghadap kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun yang pernah mendengar tentangnya, kecuali ia sangat ingin lari dari neraka tersebut!!”
Kemudian Allah memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) neraka tersebut dengan hal-hal yang disukai oleh nafsu syahwat, dan berbagai macam kesenangan lainnya yang terlarang secara syara’. Setelah semua itu selesai, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk sekali lagi mengunjungi neraka. Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi segala keagungan-Mu, ya Allah, aku khawatir tidak ada seorangpun yang akan luput dari padanya, dan mereka akan memasukinya!!”
Dari sinilah sebagian ulama tersebut menasehatkan, bahwa musuh utama bagi seseorang itu bukanlah Iblis dan bala tentaranya, tetapi justru hawa nafsunya sendiri. Segala macam tipu daya dan perangkap Iblis, baik dari sisi gemebyarnya dunia ataupun dari sisi ibadahnya (dengan membuatnya tidak ikhlas), hanya bisa berhasil jika seseorang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya. Tanpa ‘memanfaatkan’ hawa nafsu yang memang jadi bagian yang utuh dari sisi manusiawinya, Iblis dan bala tentaranya dari syaitan, akan kesulitan dalam menyesatkan seseorang dari jalan fitrahnya, yang memang ingin kembali kepada Allah. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Dari masa ke masa, Allah SWT telah mengirimkan para Rasul-Nya untuk membimbing umat manusia agar ‘sukses’ kembali ke tempat asal, surga, hingga yang terakhir adalah junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam ibadah, baik yang sifatnya wajib ataupun sunnah, disampaikan kepada manusia agar memuluskan jalannya kembali ke surga. Tuntunan ibadah tersebut layaknya penolong bagi kita, untuk memerangi berbagai macam musuh yang merintangi jalan kita, termasuk penolong juga dalam mengendalikan hawa nafsu kita. Akan tetapi, sebagaimana nasehat sebagian ulama tersebut, penolong utama kita bukanlah berbagai macam ibadah yang telah kita lakukan, tetapi justru Allah SWT sendiri.
Ketika menafsirkan ayat ke lima dari QS Al Fatihah : Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami mohon pertolongan), para ahli tasauf (ahli kerohanian Islam) menyatakan bahwa, sesungguhnya kita lebih membutuhkan pertolongan Allah dalam beribadah kepada-Nya. Sebab kalau tidak adanya pertolongan Allah, bagaimana kita bisa beribadah dengan benar, dengan ikhlas semata-mata mengharap ridho Allah? Harus diingat, Iblis begitu piawainya dalam memasang perangkapnya, sehingga suatu ibadah yang kita lakukan terkadang hanya untuk ‘memuaskan’ hawa nafsu dan  keinginan kita saja. Ibadah hanya menjadi sarana dan alat untuk ‘menodong’ Allah SWT agar kita memperoleh sesuatu, baik lahiriah ataupun batiniah (kejiwaan), yang sifatnya hanya sesaat menyenangkan hawa nafsu kita.
Oleh karena itu, orang yang benar-benar ma’rifat menyadari bahwa tidak ada musuh yang paling berbahaya kecuali hawa nafsunya sendiri, dan tidak ada penolong baginya yang paling utama kecuali Allah SWT. Pengakuan seperti ini pernah disampaikan oleh Nabi Yusuf AS, sebagaimana disitir dalam QS Yusuf ayat 53 : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.           
           
Note:ni

Nasehat ke 13, Orang yang Ma’rifat dan Orang yang Zuhud



Seorang Ulama berkata, “Kemauan orang yang makrifat (Arif) adalah memuji sedang kemauan orang zuhud (Zahid) adalah berdoa, karena keinginan seorang Arif hanyalah pada (keridhaan) Rabb-nya, sedang keinginan seorang Zahid adalah pada (kemanfaatan) dirinya.” 

Dua kelompok kaum muslimin, kaum Arifin dan kaum Zahidin bisa dikatakan telah mencapai tingkat yang tinggi dalam keimanan dan ketakwaan, di atas umumnya kaum muslimin seperti kita. Bisa jadi secara amalan lahiriah dan ilmu keislaman kelihatannya tidak lebih baik (lebih banyak secara kuantitatif) dari ulama atau ustad yang kita kenali, tetapi keadaan hati mereka itulah yang memperoleh penilaian lebih di sisi Allah. Mungkin ini yang digambarkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau memuji Abu Bakar RA di antara para sahabat lainnya, “Sesungguhnya Abu Bakar itu lebih baik daripada kalian bukan karena lebih banyak shalatnya dan puasanya, tetapi karena sesuatu yang ada di dalam hatinya…”   
Orang Arif adalah adalah orang yang telah mengenal (berma’rifat kepada) Allah dan selalu dalam keadaan mengingat Allah. Dalam beribadah kepada Allah, tidak ada lagi motivasi surga atau neraka, tetapi semata-mata karena cinta. Layaknya seorang yang sedang jatuh cinta, tidak ada yang paling disukainya kecuali hanya memuji dan mengagumi Dzat yang dicintainya. Dan tidak ada yang paling diharapkannya kecuali Allah akan ‘menerima’ cintanya dan melimpahkan keridhaan-Nya.
Orang yang zuhud adalah orang yang ‘berpaling’ dari hal-hal yang bersifat duniawiah. Tidak selalu orang yang fakir atau miskin, tetapi orang kaya yang tidak disibukkan dengan harta dan kehidupan dunianya termasuk dalam kaum zahidin. Nabi Sulaiman AS yang memiliki harta berlimpah dan kekuasaan besar, termasuk terhadap bangsa jin, binatang, bahkan angin, adalah seorang nabi yang zuhud. Tetapi yang paling terkenal kezuhudannya adalah Nabi Isa AS. Begitu zuhudnya beliau ini, sampai ketika Iblis menuduhnya masih ‘memiliki’ dunia karena tidur berbantalkan sebuah batu, beliau melemparkan batu tersebut dan tidak pernah berbantalkan apapun ketika beliau tidur. Sedangkan Rasulullah SAW, bukan hanya seorang nabi yang zuhud, tetapi juga yang paling ma’rifat kepada Allah SWT.
Orang yang zuhud bisa dikatakan sebagai orang yang sangat memahami makna istirja’, yakni kalimat ‘Inna lillaahi wainnaa ilaihi raaji’un” (Sesungguhnya kita ini milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya), sebagaimana disitir dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 156. Mereka menyadari bahwa hal-hal duniawiah akan menyulitkan atau bahkan jadi penghalang ketika akan kembali kepada Allah, karena itu mereka ‘memilih’ untuk berpaling darinya. Kalaupun ada bagian dunia yang dimiliki dan diupayakannya, semata-mata untuk bekal dan penolongnya dalam beribadah dan berdoa kepada Allah, sehingga meringankannya pada yaumul hisab kelak dan akhirnya ia memperoleh derajad yang tinggi di sisi Allah.   

Note:ni9,aks115