Kamis, 16 Oktober 2014

Nasehat ke 2, Bergaul dengan Ulama, Mendengarkan Hukama

Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian bergaul (bermajelis) dengan para Ulama, dan mendengarkan ucapan para Hukama, karena Allah menghidupkan kembali hati yang mati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Dia menghijaukan tanah yang gersang dengan air hujan.”

Secara umum, arti ‘ulama’ adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang luas, khususnya ilmu pengetahuan agama Islam. Tetapi secara spesifik, para ulama membaginya menjadi istilah ‘ulama’ dan ‘hukama’. Ada juga yang menambahkan satu lagi, yakni ‘kubara’. Ulama adalah orang-orang berilmu (alim) tentang hukum-hukum Allah (Fiqih), yang mengamalkan ilmunya dan berhak memberikan fatwa-fatwa sehubungan hukum-hukum Agama yang bersifat lahiriah. Sedang Hukama adalah orang-orang berilmu tentang Dzat Allah dan sifat-sifat bathiniah dari amal lahiriah, dan lebih banyak berkecipung dalam hal akhlak dan adab (tata-krama). Adapun kubara, adalah seseorang yang diberi anugerah Allah sebagai ulama sekaligus sebagai hukama.
Dengan bergaul dan bermajelis dengan  para ulama, akan terjaga dan selamatlah amal-amal ibadah kita. Kita akan mengetahui batasan halal dan haram, sah dan tidaknya suatu amal ibadah, benar dan tidaknya suatu muamalah, dan lain-lainnya. Tetapi dengan hanya ‘memegangi’ hukum-hukum fiqih semata, akan terasa ‘kering (gersang)’ ibadah yang kita lakukan. Bisa saja ibadah kita ‘sah’, tetapi mungkin saja ‘tidak diterima’ karena kita tidak memperhatikan ‘tata kelola hati’ dalam menjalankan ibadah tersebut. Para hukama itulah yang selalu memperhatikan ‘tata kelola hati’, atau sering disebut dengan Manajemen Qalbu dalam pelaksanaan ibadah dan muamalah, bahkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Dengan mendengarkan ucapan para hukama, akan selamatlah kita dari berbagai penyakit hati, seperti takabur/sombong, ujub, merasa bersih diri dan lain-lainnya. Yang membuat Iblis menjadi mahluk terkutuk dan terusir dari surga, bukanlah karena ia tidak beribadah dan tidak beriman kepada Allah. Iblis yang saat itu masih bernama Azazil, adalah jenis jin yang mempunyai ibadah dan pengenalan (ma’rifat) kepada Allah yang sangat luar biasa, sehingga ia bisa mencapai derajad yang tinggi di sisi Allah, melebihi para malaikat. Tetapi hanya karena satu kesalahan, yakni bersikap sombong dan merasa lebih baik daripada Adam yang baru saja diciptakan Allah, ia jatuh terpuruk pada derajad terbawah, bahkan terkutuk hingga akhir zaman.
Nabi SAW menegaskan pentingnya mendengarkan ucapan para hukama ini karena akan bisa menghidupkan hati, seperti halnya tanah gersang yang kembali hijau dan segar kembali karena turunnya hujan. Sebuah pembicaraan panjang lebar antara Nabi SAW dengan sahabat Mu’adz bin Jabal berikut ini mungkin bisa memberikan gambaran.
Suatu malam Mu'adz bermaksud menemui Rasulullah SAW, tetapi ternyata beliau sedang mengendarai unta, entah hendak pergi kemana? Melihat kedatangannya, beliau meminta Mu'adz naik ke belakang beliau, berboncengan berdua, untapun melanjutkan perjalanan. Beliau memandang ke langit, setelah menyanjung dan memuji Allah SWT, beliau bersabda kepada Mu'adz, "Wahai Mu'adz, aku akan menceritakan suatu kisah kepadamu, jika engkau menghafalnya akan sangat berguna bagimu. Tetapi jika engkau meremehkannya, engkau tidak akan punya hujjah (argumentasi) di hadapan Allah kelak."
Nabi SAW menceritakan, bahwa sebelum penciptaan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh malaikat. Setelah bumi dan langit tercipta, Allah menempatkan tujuh malaikat tersebut pada pintu-pintu langit, menurut derajat dan keagungannya masing-masing. Allah juga menciptakan malaikat yang  mencatat dan membawa amal kebaikan seorang hamba ke langit, menuju ke hadirat Allah, yang disebut dengan malaikat hafadzah.
Suatu ketika malaikat hafadzah membawa ke langit, amalan seorang hamba yang berkilau seperti cahaya matahari. Ketika sampai di langit pertama, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit pertama itu berkata, "Tamparkan amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah penjaga (penyeleksi) orang-orang yang suka mengumpat (ghibah, jawa: ngerasani). Aku ditugaskan untuk menolak amalan orang yang suka ghibah. Allah tidak mengijinkannya melewatiku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat banyak dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah. Ketika sampai di langit kedua, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke dua itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya, sebab ia beramal dengan mengharap duniawiah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan seperti ini dan melarangnya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat memuaskannya, penuh dengan sedekah, puasa dan berbagai kebaikan lainnya, yang dianggapnya sangat mulia dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama dan kedua karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah dan tidak mengharapkan balasan duniawiah.
Ketika sampai di langit ke tiga, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tiga itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga kibr (kesombongan), Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka sombong (bermegah-megahan) dalam majelis. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar seperti bintang kejora, bergemuruh karena penuh dengan tasbih, puasa, shalat, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama, ke dua dan ke tiga karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah dan juga tidak sombong.
Ketika sampai di langit ke empat, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke empat itu berkata "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat ujub (bangga diri). Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang disertai ujub. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat mulia, terdiri dari jihad, haji, umrah dan berbagai kebaikan lainnya sehingga sangat cemerlang seperti matahari. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke empat, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong dan juga tidak ujub dalam beramal.
Ketika sampai di langit ke lima, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke lima itu berkata "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat hasud (iri dengki). Meskipun amalannya sangat baik, tetapi ia suka hasud kepada orang lain yang mendapatkan kenikmatan Allah. Itu artinya ia membenci Allah yang memberikan kenikmatan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat sempurna dari wudhu, shalat, puasa, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke lima, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, dan juga tidak suka hasud pada orang lain.
Ketika sampai di langit ke enam, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke enam itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga sifat rahmah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang tidak pernah mengasihani (bersikap rahmah kepada) orang lain. Bahkan jika ada orang yang ditimpa musibah, ia merasa senang. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar-sinar seperti kilat menyambar dan bergemuruh laksana guruh menggelegar, terdiri dari shalat, puasa, haji, umrah, wara’, zuhud dan berbagai amalan hati lainnya. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke enam, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, dan juga seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya.
Ketika sampai di langit ke tujuh, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tujuh itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke muka pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat sum’ah (suka pamer). Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka memamerkan amalannya untuk memperoleh ketenaran, derajad dan pengaruh terhadap orang lain. Amalan seperti ini adalah riya', dan Allah tidak menerima ibadahnya orang yang riya'. Allah tidak mengijinkannya melewati aku  untuk sampai ke hadirat Allah SWT."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, akhlak mulia, pendiam suka berdzikir, dan beberapa lainnya yang tampak sangat sempurna. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke tujuh karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya, dan juga tidak suka memamerkan amalannya (sum’ah). Para malaikat dibuat terkagum-kagum sehingga mereka ikut mengiring amalan itu itu sampai di hadirat Allah SWT.
Ketika amal tersebut dipersembahkan malaikat hafadzah, Allah berfirman, "Hai malaikat hafadzah, Aku-lah yang mengetahui isi hatinya. Ia beramal bukan untuk Aku tetapi untuk selain  Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk-Ku. Aku lebih mengetahui daripada kalian, dan Aku laknat mereka yang menipu orang lain dan menipu kalian (malaikat hafadzah, dan malaikat-malaikat lainnya yang menganggapnya sebagai amalan hebat), tetapi Aku tidak akan tertipu olehnya. Aku-lah yang mengetahui hal-hal ghaib, Aku mengetahui isi hatinya. Yang samar, tidaklah samar bagi-Ku, Yang tersembunyi, tidaklah tersembunyi bagi-Ku. Pengetahuan-Ku  atas segala yang telah terjadi, sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang belum terjadi. Ilmu-Ku atas segala  yang telah lewat, sama dengan Ilmu-Ku atas segala yang akan datang. Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang terdahulu, sama dengan Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang kemudian. Aku yang paling mengetahui segala sesuatu yang samar dan rahasia, bagaimana bisa hamba-Ku menipu dengan amalnya. Bisa saja mereka menipu mahluk-Ku tetapi Aku Yang Mengetahui hal-hal yang ghaib….tetaplah laknat-Ku atas mereka…!!"
Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat juga berkata, "Ya Allah, kalau demikian keadaannya, tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka….!!"
Kemudian para malaikat dan seluruh penghuni langit berkata, "Ya Allah,  tetaplah laknat-Mu dan laknat orang-orang yang melaknat atas mereka…!!"
Begitulah, panjang lebar Nabi SAW menceritakan kepada Mu'adz bin Jabal, dan tanpa terasa ia menangis tersedu-sedu di boncengan unta beliau. Ia berkata di sela tangisannya, "Ya Rasulullah, bagaimana aku bisa selamat dari semua yang engkau ceritakan itu??" 
"Wahai Mu'adz, ikutilah Nabimu dalam masalah keyakinan!!" Kata Nabi SAW.
"Engkau adalah Rasulullah, sedangkan aku hanyalah Mu'adz bin Jabal. Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari semua itu…" Kata Mu'adz.
"Memang begitulah,” Kata Nabi SAW, “Jika ada kelengahan dalam ibadahmu, jagalah lisanmu agar tidak sampai menjelekkan orang lain, terutama jangan menjelekkan ulama….."
Panjang lebar Nabi SAW menasehati Mu'adz bin Jabal, yang intinya adalah menjaga lisan dan hati, jangan sampai melukai dan menghancurkan pribadi orang lain. Akhirnya beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, yang aku ceritakan tadi akan mudah bagi orang yang dimudahkan Allah. Engkau harus mencintai orang lain sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Bencilah (larilah) dari sesuatu yang engkau membencinya (yakni, akibat buruk yang diceritakan Nabi SAW  di atas), niscaya engkau akan selamat…!"
Rasulullah SAW tahu betul bahwa Mu'adz bin Jabal sangat mengetahui hukum-hukum Islam (Fikih), yang pada dasarnya bersifat lahiriah. Dengan menceritakan kisah tersebut, beliau ingin melengkapi pengetahuan dan pemahamannya dari sisi batiniah, sehingga makin sempurna pengetahuan keislamannya. Dan tak salah kalau kemudian Nabi SAW pernah bersabda, "Mu'adz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama di hari kiamat….!"

Note: ni3,ma

Nasehat ke 1, Iman dan Kemanfaatan bagi Muslimin

Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua perkara yang tidak ada sesuatu yang melebihi fadhilahnya (keutamaannya), yakni beriman kepada Allah dan membuat sesuatu yang bermanfaat bagi kaum muslimin.

Iman kepada Allah adalah batasan, apakah seseorang itu celaka selamanya di neraka atau pada akhirnya bisa ‘diangkat’ dari jurang kesengsaraan itu menuju ke surga. Karena itulah Nabi SAW pernah bersabda kepada Abu Thalib, ketika paman beliau itu dalam keadaan sekarat, “Wahai Paman, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah, satu kalimat yang bisa engkau jadikan hujjah di sisi Allah!!”
Tetapi sejarah membuktikan bahwa Abu Thalib tidak mengikuti anjuran Nabi SAW, sehingga ia kekal di neraka. Padahal hampir 45 tahun hidupnya dihabiskan bersama Nabi SAW, termasuk merawat dan menjaga beliau sejak usia 8 tahun. Tigabelas tahun lamanya ia menjadi ‘pembela utama’ Nabi SAW ketika mendakwahkan Islam di Makkah. Beliau pernah ditanya tentang keadaan Abu Thalib di akhirat kelak, dan beliau bersabda, “Dia berada di neraka yang dangkal. Kalau tidak karena aku, tentu dia berada di tingkatan neraka yang paling bawah.”
Dalam riwayat lainnya, beliau pernah bersabda, “Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat kelak, sehingga dia (Abu Thalib) diletakkan di neraka yang dangkal, hanya sebatas tumitnya saja!!”
Beberapa ulama berpendapat, walau hanya sebatas tumit yang terkena api neraka, tetapi otak yang ada di kepalanya sampai mendidih. Wallahu A’lam.      
Tentu saja, keimanan dimaksud adalah keimanan yang sebenar-benarnya, tulus dari lubuk hati yang paling dalam, tidak hanya sekedar ‘lips service’, pengakuan di mulut semata. Pengakuan (syahadat) di lisan, yang diikuti dengan pembenaran dalam hari, dan pada akhirnya diwujudkan dalam amal perbuatan.
Dalam Al Qur’an, Surat Al Hujurat 14-15 dijelaskan : Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah (wahai Muhammad) : "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk (Islam)', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (keimanannya)."
Tentang keutamaan ‘membuat kemanfaatan bagi kaum muslimin’, karena hal itu sejalan dengan misi diutusnya Rasulullah SAW, yakni rahmatan lil ‘alamin. Nabi SAW pernah bersabda, “Hamba-hamba yang paling dicintai Allah adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesama manusia. Sebaik-baiknya amal adalah memasukkan (memunculkan) rasa gembira pada hati seorang mukmin, yakni menghilangkan kelaparan dari dirinya, menyingkapkan kesulitan yang dialaminya, atau membayar hutang-hutangnya. Dan tidak ada yang lebih jahat (buruk) dari dua hal, yakni menyekutukan Allah (musyrik) dan mendatangkan bahaya (keburukan) kepada kaum muslimin.”
Dua hal tersebut, beriman kepada Allah dan membuat kemanfaatan bagi kaum muslimin, atau bisa disebut bersikap dermawan, bila berjalan beriringan akan ‘memuluskan’ jalan ke surga. Dermawan tidak harus selalu dengan harta, karena secara sunnatullah, tidak semua orang memiliki kelebihan harta (kaya). Bisa saja ‘berderma’ dengan tenaganya, pikirannya, ilmunya, dengan kelapangan hati memaafkan orang lain, senyuman dan lain-lain. Bahkan untuk hal sepele seperti menyingkirkan duri dari jalanan, Nabi SAW telah menyebutkannya sebagai salah satu dari 70 cabang iman, karena hal itu memang bermanfaat bagi orang lainnya. Wallahu A’lam.

Note : Ni2,sn159,etc