Nabi
SAW bersabda, “Dosa kecil tidaklah dipandang kecil jika terus-menerus
dilakukan, dan dosa besar tidaklah dipandang besar jika selalu disertai dengan
memohon ampunan (beristighfar)”
Nasehat Nabi SAW ini tampaknya
menjadi dasar dari nasehat hukama sebelumnya, bahwa dosa kecil yang terus
menerus dilakukan tidak bisa dikatakan lagi sebagai dosa kecil. Tidak hanya
sekedar tumpukan (volume) dosanya yang menjadi besar, tetapi ‘kehendak’ untuk
terus melakukan dosa kecil itulah yang justru lebih besar dosanya, karena
merupakan dosa batiniah (dosa hati). Apalagi kalau nantinya akan menyeret
dirinya untuk melakukan dosa-dosa besar.
Namun dalam nasehat ini, Nabi SAW
juga memotivasi umatnya untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah, walau
mungkin ia tengah bergelimang dengan dosa-dosa besar, yakni dengan memohon
ampunan Allah, selalu beristighfar tanpa henti-hentinya. Nabi SAW sendiri mencontohkan,
beliau beristighfar kepada Allah 70 kali (dalam riwayat lainnya 100 kali)
setiap harinya, walau beliau ma’shum (terjaga dari dosa).
Memang, salah satu keutamaan umat
Nabi Muhammad SAW dibanding dengan umat-umat nabi sebelumnya adalah dalam
masalah taubat. Kaum dari nabi sebelumnya, ketika melakukan suatu perbuatan
dosa terkadang harus memotong (memutilasi) bagian tubuh yang berdosa tersebut.
Terkadang mereka langsung disiksa dengan ditelan bumi, ditenggelamkan, atau dirubah
wajahnya menjadi monyet. Bahkan harus membunuh dirinya sendiri (bunuh diri)
untuk bisa diampuni dosa-dosanya.
Berbeda dengan mereka, pintu taubat
bagi umat Rasulullah SAW selalu terbuka hingga masa yang sangat dekat dengan
hari kiamat, yakni ketika matahari terbit dari arah barat. Saat itulah pintu
taubat tertutup, dan tidak berarti lagi amal kebaikan, kecuali bagi orang-orang
yang telah terbiasa melakukan amal kebaikan itu sebelumnya. Secara pribadi,
pintu taubat itu tetap terbuka bagi kaum muslimin sampai saat yang sangat dekat
dengan kematian, yakni ketika ruhnya belum sampai di tenggorokannya. Karena
itu, bagi kita yang berdosa, siksaan itu ditangguhkan atau bisa jadi dihapuskan
jika kita bertaubat dengan sungguh-sunnguh. Bahkan bagi mereka yang mungkin
tidak bertaubat hingga kematiannya, masih ada harapan untuk memperoleh syafaat
Rasulullah SAW di yaumul makhsyar, walau belum tentu semua orang
memperolehnya.
Bagi beberapa kaum nabi-nabi
sebelumnya berlaku kaidah ‘dosa yang pertama dan juga yang terakhir kalinya’,
yakni, begitu melakukan dosa yang sama untuk ke dua kalinya, maka tertutuplah
pintu taubat dan ia telah menjadi ‘penghuni’ neraka, walau mungkin masih hidup
di dunia. Ini berbeda dengan umat Nabi SAW dimana Allah masih selalu membuka
pintu rahmat dan maghfirah-Nya, selama sang hamba mau memohon ampunan
kepada-Nya walau ia berkali-kali jatuh pada dosa yang sama. Bahkan salah satu
dosa terbesar yang mungkin akan sulit memperoleh syafaat pada hari kiamat kelak
adalah dosa ‘berputus asa’ dari rahmat Allah. Yakni, ia beranggapan Allah tidak
akan mau mengampuni dosa-dosanya yang selalu berulang-ulang dilakukannya, yang
begitu banyak dan bertumpuk-tumpuk hingga layaknya memenuhi bumi dan
langit
Note:ni9