Al-A’masyi
rahm berkata, “Barangsiapa yang modal pokoknya takwa, maka lidah-lidah akan
kelu menyifati keuntungan agamanya. Dan barangsiapa yang modal pokoknya adalah
dunia, maka lidah-lidah juga tidak mampu menjumlahkan kerugian agamanya.”
Kehidupan ini layaknya sebuah
perniagaan yang menjanjikan sebuah keuntungan, baik keuntungan jangka pendek
ataupun jangka panjang. Hanya saja, kebanyakan orang tertipu, baik oleh godaan
syaitan atau hawa nafsunya, untuk mengejar keuntungan jangka pendek saja (yakni
kesenangan duniawi) dan melalaikan keuntungan jangka panjangnya (yakni
kesenangan akhirat). Padahal hakikat penciptaan manusia (dan juga jin) di bumi
ini agar mereka bisa memetik dan menikmati kesenangan hidupnya yang abadi di
akhirat, sebagaimana Firman Allah dalam QS adz-Dzaariyaat 56 : Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.
Berbeda
dengan mahluk Allah lainnya seperti hewan, tumbuhan, alam semesta dan
lain-lainnya, termasuk malaikat, manusia dan jin memang diberikan ‘kebebasan’
bertindak dalam mengisi kehidupannya. Walau pada dasarnya diciptakan untuk
beribadah kepada Allah, tetapi dalam batas-batas tertentu, mereka diberikan
kemampuan untuk memilih dan ‘memanajemen’ apa yang mereka ‘kehendaki’ di dunia
ini. Hanya saja pilihan apapun yang mereka lakukan, mereka akan mendapat
konsekuensinya, yakni balasannya. Dan balasan yang sesungguhnya itu adalah di
akhirat. Bisa saja seseorang itu seolah-oleh memperoleh hasil dan balasan yang
baik dan melimpah di dunia, tetapi sebenarnya hanya kerugian besar di akhirat.
Sebaliknya, ada orang yang merasakan kerugian dan kesengsaraan besar di dunia,
tetapi sebenarnya ia bakal memperoleh keuntungan dan hasil (balasan) yang tidak
terkira besarnya di akhirat kelak.
Karena
itu sebagaimana nasehat al A’masyi (rahimahullah) tersebut di atas, jika
manusia (dan juga jin) menjalankan ‘perniagaan’ hidupnya dengan modal pokok
ketakwaan, yakni selalu mengisi dan ‘menjalankan perniagaannya’ dengan ibadah
demi ibadah kepada Allah, maka ia akan memperoleh keuntungan agamawi yang tidak
terkira. Tentu saja jika ia melaksanakan semuanya itu semata-mata untuk
memperoleh keridhaan Allah dan balasan terbaik di akhirat. Kalaupun ada
‘balasan’ duniawi yang diterimanya, ia tidak terpengaruh dan tidak terlalaikan
dari tujuan akhiratnya, apalagi sampai tenggelam menikmatinya. Ia akan terus
bersabar menjalankan ibadah dan penghambaan kepada Allah, sampai Allah akan
‘memanggil’-nya dengan penuh kasih sayang, “Wahai jiwa yang tenang (an nafs al
muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya,
maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku…!”
Sebaliknya,
jika manusia (dan juga jin) menjalankan ‘perniagaan’ hidupnya dengan modal
pokok duniawi, maka sebagaimana nasehat al A’masyi tersebut, maka ia akan
mendapat kerugian agamawi, yakni kerugian akhirat, yang tidak terkira besarnya.
Bisa saja kelihatannya ia mendapat keuntungan dan kesenangan hidup yang begitu
besar, tidak terukur dan seakan tidak ada habis-habisnya. Tetapi begitu ia
memasuki alam kubur (walau mungkin jasad fisiknya tidak terkubur di tanah), ia
mulai merasakan kerugian dan kesengsaraan yang sebenarnya. Bisa saja jasad
fisiknya dikuburkan dalam pemakaman yang indah dan mewah laksana taman surga,
bahkan juga dituliskan kata-kata ‘Istirahat dalam Kedamaian’ pada nisannya, dan
berbagai tulisan indah dan menyejukkan lainnya. Tetapi sebenarnya, tidak sampai
dua tiga meter di bawahnya, ia tengah merasakan beratnya ‘siksaan kubur’, yang tentunya
belum seberapa jika dibandingkan dengan kesengsaraan di akhirat kelak, yakni di
dalam neraka.
Note:ni7