Jumat, 09 Januari 2015

Nasehat ke 8, Modal Takwa dan Modal Dunia

Al-A’masyi rahm berkata, “Barangsiapa yang modal pokoknya takwa, maka lidah-lidah akan kelu menyifati keuntungan agamanya. Dan barangsiapa yang modal pokoknya adalah dunia, maka lidah-lidah juga tidak mampu menjumlahkan kerugian agamanya.” 

Kehidupan ini layaknya sebuah perniagaan yang menjanjikan sebuah keuntungan, baik keuntungan jangka pendek ataupun jangka panjang. Hanya saja, kebanyakan orang tertipu, baik oleh godaan syaitan atau hawa nafsunya, untuk mengejar keuntungan jangka pendek saja (yakni kesenangan duniawi) dan melalaikan keuntungan jangka panjangnya (yakni kesenangan akhirat). Padahal hakikat penciptaan manusia (dan juga jin) di bumi ini agar mereka bisa memetik dan menikmati kesenangan hidupnya yang abadi di akhirat, sebagaimana Firman Allah dalam QS adz-Dzaariyaat 56 : Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Berbeda dengan mahluk Allah lainnya seperti hewan, tumbuhan, alam semesta dan lain-lainnya, termasuk malaikat, manusia dan jin memang diberikan ‘kebebasan’ bertindak dalam mengisi kehidupannya. Walau pada dasarnya diciptakan untuk beribadah kepada Allah, tetapi dalam batas-batas tertentu, mereka diberikan kemampuan untuk memilih dan ‘memanajemen’ apa yang mereka ‘kehendaki’ di dunia ini. Hanya saja pilihan apapun yang mereka lakukan, mereka akan mendapat konsekuensinya, yakni balasannya. Dan balasan yang sesungguhnya itu adalah di akhirat. Bisa saja seseorang itu seolah-oleh memperoleh hasil dan balasan yang baik dan melimpah di dunia, tetapi sebenarnya hanya kerugian besar di akhirat. Sebaliknya, ada orang yang merasakan kerugian dan kesengsaraan besar di dunia, tetapi sebenarnya ia bakal memperoleh keuntungan dan hasil (balasan) yang tidak terkira besarnya di akhirat kelak.
Karena itu sebagaimana nasehat al A’masyi (rahimahullah) tersebut di atas, jika manusia (dan juga jin) menjalankan ‘perniagaan’ hidupnya dengan modal pokok ketakwaan, yakni selalu mengisi dan ‘menjalankan perniagaannya’ dengan ibadah demi ibadah kepada Allah, maka ia akan memperoleh keuntungan agamawi yang tidak terkira. Tentu saja jika ia melaksanakan semuanya itu semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah dan balasan terbaik di akhirat. Kalaupun ada ‘balasan’ duniawi yang diterimanya, ia tidak terpengaruh dan tidak terlalaikan dari tujuan akhiratnya, apalagi sampai tenggelam menikmatinya. Ia akan terus bersabar menjalankan ibadah dan penghambaan kepada Allah, sampai Allah akan ‘memanggil’-nya dengan penuh kasih sayang, “Wahai jiwa yang tenang (an nafs al muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya, maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku…!”
Sebaliknya, jika manusia (dan juga jin) menjalankan ‘perniagaan’ hidupnya dengan modal pokok duniawi, maka sebagaimana nasehat al A’masyi tersebut, maka ia akan mendapat kerugian agamawi, yakni kerugian akhirat, yang tidak terkira besarnya. Bisa saja kelihatannya ia mendapat keuntungan dan kesenangan hidup yang begitu besar, tidak terukur dan seakan tidak ada habis-habisnya. Tetapi begitu ia memasuki alam kubur (walau mungkin jasad fisiknya tidak terkubur di tanah), ia mulai merasakan kerugian dan kesengsaraan yang sebenarnya. Bisa saja jasad fisiknya dikuburkan dalam pemakaman yang indah dan mewah laksana taman surga, bahkan juga dituliskan kata-kata ‘Istirahat dalam Kedamaian’ pada nisannya, dan berbagai tulisan indah dan menyejukkan lainnya. Tetapi sebenarnya, tidak sampai dua tiga meter di bawahnya, ia tengah merasakan beratnya ‘siksaan kubur’, yang tentunya belum seberapa jika dibandingkan dengan kesengsaraan di akhirat kelak, yakni di dalam neraka.

Note:ni7

Nasehat ke 7, Sikap Orang Mulia (Kariim) dan Orang Bijaksana (Hakiim)

Yahya bin Muadz rahm, “Orang mulia (al kariim) tidak berani berbuat maksiat kepada Allah, sedangkan orang yang bijaksana (al hakiim) tidak akan mementingkan dunia atas akhiratnya.”

Baik al Kariim (orang-orang yang mulia) atau al Hakiim (orang yang bijaksana) termasuk dalam kelompok muttaqiin (orang-orang yang bertakwa), hanya saja berbeda dalam derajad ketakwaannya. Yakni, mereka yang selalu membersihkan jiwanya dan selalu mengikuti ‘ilham’ ketakwaan, sebagaimana disitir dalam QS Asy Syam ayat 8-9.
Orang-orang yang termasuk dalam al Kariim, selalu berusaha untuk ‘meningkatkan’ ketakwaannya dengan jalan selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya (tidak bermaksiat). Biasanya mereka ini lebih mendahulukan untuk menjauhi larangan dan kemaksiatan, daripada pelaksanaan perintah, walau secara umum mereka melakukannya secara simultan (bersamaan). Tentu saja untuk yang sifatnya wajib atau fardhu, seperti shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan melaksanakan ibadah haji ketika telah mampu atau mencukupi, akan selalu menjadi prioritas utama bagi mereka untuk menunaikannya.
Perintah untuk melaksanakan kebaikan (yang sifatnya bukan wajib/fardhu) biasanya bertingkat-tingkat, dan sesuai dengan batas kemampuan masing-masing orang. Tetapi ketika menyangkut maksiat dan larangan Allah, sifatnya tegas dan menyeluruh. Kalau satu botol atau sejumlah besar khamr (miras, narkoba, dll) haram, maka walau hanya mencicipi satu sloki, bahkan sesendok atau satu gram khamr juga haram. Kalau suap dan korupsi bermilyar rupiah haram, maka suap dan korupsi walau hanya ribuan atau puluhan ribu juga haram. Kalau riba (rente) puluhan persen haram, maka riba (rente) walau hanya satu, bahkan setengah persen pun haram hukumnya. Begitu juga dengan berbagai larangan atau kemaksiatan kepada Allah lainnya, atau kedzaliman kepada sesama mahluk Allah lainnya.
Itulah sebabnya, sebagaimana dinasehatkan Yahya bin Muadz (rahimahullah), orang-orang yang mulia (al kariim) itu tidak berani bermaksiat kepada Allah, walau dalam ‘porsi’ sangat kecil atau sederhana sekalipun. Bagi mereka, lebih baik menghindari berbagai larangan Allah atau dari bermaksiat kepada-Nya, daripada ‘berlomba-lomba’ untuk melakukan berbagai kebaikan yang sifatnya sunnah (fadhalah), seperti puasa sunnah, haji dan umrah selain yang pertama, shalat-shalat sunnah, dan lain-lainnya. Apalah arti dari semua kebaikan itu jika mereka masih bermaksiat kepada Allah, terlebih lagi jika menyangkut sumber penghasilan yang tidak halal. Mereka ini akan ‘memilih’ untuk bekerja mencari hasil yang halal, walau untuk itu harus meninggalkan berbagai amal kebaikan yang sifatnya sunnah tersebut.
Sedangkan orang-orang yang bijaksana (al Hakiim), bisa dikatakan derajadnya setingkat di atas al Kariim. Bagi mereka, bukan hanya sekedar perkara haram yang menjadi perhatiannya (untuk dihindari), tetapi perkara mubah atau halal sekalipun, jika bisa mengganggu/melalaikan ibadah dan dzikrnya kepada Allah akan langsung ditinggalkan. Karena itulah al Hakiim ini biasanya bersifat zuhud (tidak terpengaruh duniawi), wara’ (sangat berhati-hati) dan qana’ah (merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah). Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk persiapan menghadapi kehidupan akhiratnya, dan sedikit sekali, atau bahkan tidak ada, yang digunakan untuk ‘menikmati’ kesenangan duniawi.
Abu Darda RA pernah meminta kepada Nabi SAW agar memberikan wasiat kepadanya, maka beliau bersabda, “Usahakanlah harta yang halal, beramallah yang saleh, mintalah rezeki kepada Allah sehari demi sehari, dan perhitungkanlah dirimu di antara orang-orang yang mati!!”

Note:ni6mq205