Seorang
Ulama berkata, “Sesungguhnya syahwat itu bisa mengubah raja menjadi hamba, dan
kesabaran itu bisa mengubah hamba menjadi raja. Bukanlah engkau telah melihat
kisah Yusuf dan Zulaikha.”
Syahwat adalah kesenangan nafsu
yang segera dan sesaat, yang seringkali melupakan bahaya dan kemelaratan yang
bisa terjadi setelahnya, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Sedang
kesabaran adalah ketabahan, kesediaan untuk mengalami kesusahan dan beratnya
perjuangan, meninggalkan berbagai kesenangan, untuk bisa mewujudkan apa yang
dicita-citakan. Kita mengenal suatu peribahasa yang menggambarkan kesabaran,
yaitu : Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian.
Orang yang menyukai sesuatu dan
berharapan untuk memilikinya, maka ia akan menjadi hamba sesuatu itu. Tentunya
tidak masalah jika sesuatu itu adalah kesenangan abadi, kenikmatan akhirat
sebagaimana dijanjikan Allah SWT dan Rasulullah SAW, karena hal itulah yang
justru diperintahkan, meletakkan kecintaan yang utama kepada Allah dan
Rasulullah SAW. Dan ini bisa dikatakan sebagai kesabaran yang sebenarnya, tidak
sekedar sabar untuk memperoleh derajad dan keuntungan di dunia, walau sebagai
seorang raja sekalipun.
Jika sesuatu yang menjadi kecintaan
adalah kesenangan syahwat, maka ia benar-benar menjadi seorang hamba, seorang
budak semata walau secara lahiriah ia bergelimang dengan harta kekayaan dan
jabatan tinggi, bahkan sebagai seorang raja. Semua kesenangan itu hanya sesaat,
segera setelah nyawanya dicabut Malaikat Izrail dan memasuki alam kubur, hanya
kesengsaraan yang akan dialaminya. Bahkan tidak jarang ia tidak bisa menikmati
kesenangan duniawiah yang telah dikumpulkan dan diupayakannnya karena berbagai
penyakit yang dideritanya.
Dalam kisah Nabi Yusuf AS ketika
masa remajanya di Mesir, beliau hanyalah seorang budak di rumah seorang
pembesar kerajaan yang bernama Qithfir. Istri Qithfir yang bernama Zulaikha,
seorang putri jelita dan berkedudukan tinggi, ternyata terpikat oleh ketampanan
dan kemudaan beliau. Tidak sekedar terpikat, Zulaikha juga memperturutkan
godaan syahwatnya untuk bisa memiliki dan ‘bersenang-senang’ dengan Yusuf,
bahkan tidak segan untuk ‘menjebak’ beliau dalam suatu kamar tertutup. Tetapi
Allah melindungi beliau sehingga tidak terjatuh dalam jebakannya. Zulaikha
sempat berdalih bahwa semua itu adalah keinginan Yusuf, tetapi akhirnya Qithfir
mengetahui bahwa istrinya yang bersalah, dan rusaklah namanya di mata suaminya
itu.
Ketika kaum wanita di Mesir
mengetahui tipu daya yang dijalankan Zulaikha, merekapun mencemoohkan dirinya,
hingga makin jatuhlah namanya dalam pandangan masyarakat Mesir. Walau kemudian
ia bisa membalaskan dendamnya dalam suatu skenario ‘jamuan buah dan pisau
tajam’ sembari menampilkan Yusuf di antara wanita-wanita itu, tetapi citra
dirinya sebagai wanita terhormat tidak serta merta tertolong.
Akan halnya Nabi Yusuf, walau pada
dasarnya beliau tidak bersalah, tetapi statusnya sebagai budak membuat beliau
tetap saja menjadi ‘terdakwa’ dalam kasus tersebut. Tidak ada pilihan kecuali
beliau harus bersabar, kesabaran yang bisa dikatakan telah menjadi ‘keseharian’
beliau sejak masik anak-anak, karena kedengkian saudara-saudaranya. Bahkan
ketika beliau harus masuk penjara setelah skenario yang dijalankan Zulaikha
terhadap wanita-wanita di Mesir itu, beliau menjalaninya dengan penuh
kesabaran. Dan justru dari penjara inilah akhirnya beliau menjadi pembesar
kerajaan hanya karena impian sang Raja Mesir. .
Note:ni11,qa37