Jumat, 09 Januari 2015

Nasehat ke 7, Sikap Orang Mulia (Kariim) dan Orang Bijaksana (Hakiim)

Yahya bin Muadz rahm, “Orang mulia (al kariim) tidak berani berbuat maksiat kepada Allah, sedangkan orang yang bijaksana (al hakiim) tidak akan mementingkan dunia atas akhiratnya.”

Baik al Kariim (orang-orang yang mulia) atau al Hakiim (orang yang bijaksana) termasuk dalam kelompok muttaqiin (orang-orang yang bertakwa), hanya saja berbeda dalam derajad ketakwaannya. Yakni, mereka yang selalu membersihkan jiwanya dan selalu mengikuti ‘ilham’ ketakwaan, sebagaimana disitir dalam QS Asy Syam ayat 8-9.
Orang-orang yang termasuk dalam al Kariim, selalu berusaha untuk ‘meningkatkan’ ketakwaannya dengan jalan selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya (tidak bermaksiat). Biasanya mereka ini lebih mendahulukan untuk menjauhi larangan dan kemaksiatan, daripada pelaksanaan perintah, walau secara umum mereka melakukannya secara simultan (bersamaan). Tentu saja untuk yang sifatnya wajib atau fardhu, seperti shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan melaksanakan ibadah haji ketika telah mampu atau mencukupi, akan selalu menjadi prioritas utama bagi mereka untuk menunaikannya.
Perintah untuk melaksanakan kebaikan (yang sifatnya bukan wajib/fardhu) biasanya bertingkat-tingkat, dan sesuai dengan batas kemampuan masing-masing orang. Tetapi ketika menyangkut maksiat dan larangan Allah, sifatnya tegas dan menyeluruh. Kalau satu botol atau sejumlah besar khamr (miras, narkoba, dll) haram, maka walau hanya mencicipi satu sloki, bahkan sesendok atau satu gram khamr juga haram. Kalau suap dan korupsi bermilyar rupiah haram, maka suap dan korupsi walau hanya ribuan atau puluhan ribu juga haram. Kalau riba (rente) puluhan persen haram, maka riba (rente) walau hanya satu, bahkan setengah persen pun haram hukumnya. Begitu juga dengan berbagai larangan atau kemaksiatan kepada Allah lainnya, atau kedzaliman kepada sesama mahluk Allah lainnya.
Itulah sebabnya, sebagaimana dinasehatkan Yahya bin Muadz (rahimahullah), orang-orang yang mulia (al kariim) itu tidak berani bermaksiat kepada Allah, walau dalam ‘porsi’ sangat kecil atau sederhana sekalipun. Bagi mereka, lebih baik menghindari berbagai larangan Allah atau dari bermaksiat kepada-Nya, daripada ‘berlomba-lomba’ untuk melakukan berbagai kebaikan yang sifatnya sunnah (fadhalah), seperti puasa sunnah, haji dan umrah selain yang pertama, shalat-shalat sunnah, dan lain-lainnya. Apalah arti dari semua kebaikan itu jika mereka masih bermaksiat kepada Allah, terlebih lagi jika menyangkut sumber penghasilan yang tidak halal. Mereka ini akan ‘memilih’ untuk bekerja mencari hasil yang halal, walau untuk itu harus meninggalkan berbagai amal kebaikan yang sifatnya sunnah tersebut.
Sedangkan orang-orang yang bijaksana (al Hakiim), bisa dikatakan derajadnya setingkat di atas al Kariim. Bagi mereka, bukan hanya sekedar perkara haram yang menjadi perhatiannya (untuk dihindari), tetapi perkara mubah atau halal sekalipun, jika bisa mengganggu/melalaikan ibadah dan dzikrnya kepada Allah akan langsung ditinggalkan. Karena itulah al Hakiim ini biasanya bersifat zuhud (tidak terpengaruh duniawi), wara’ (sangat berhati-hati) dan qana’ah (merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah). Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk persiapan menghadapi kehidupan akhiratnya, dan sedikit sekali, atau bahkan tidak ada, yang digunakan untuk ‘menikmati’ kesenangan duniawi.
Abu Darda RA pernah meminta kepada Nabi SAW agar memberikan wasiat kepadanya, maka beliau bersabda, “Usahakanlah harta yang halal, beramallah yang saleh, mintalah rezeki kepada Allah sehari demi sehari, dan perhitungkanlah dirimu di antara orang-orang yang mati!!”

Note:ni6mq205

Tidak ada komentar:

Posting Komentar