Yahya
bin Muadz rahm, “Orang mulia (al kariim) tidak berani berbuat maksiat kepada
Allah, sedangkan orang yang bijaksana (al hakiim) tidak akan mementingkan dunia
atas akhiratnya.”
Baik al Kariim (orang-orang yang
mulia) atau al Hakiim (orang yang bijaksana) termasuk dalam kelompok muttaqiin
(orang-orang yang bertakwa), hanya saja berbeda dalam derajad ketakwaannya. Yakni,
mereka yang selalu membersihkan jiwanya dan selalu mengikuti ‘ilham’ ketakwaan,
sebagaimana disitir dalam QS Asy Syam ayat 8-9.
Orang-orang yang termasuk dalam al Kariim,
selalu berusaha untuk ‘meningkatkan’ ketakwaannya dengan jalan selalu
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya (tidak
bermaksiat). Biasanya mereka ini lebih mendahulukan untuk menjauhi larangan dan
kemaksiatan, daripada pelaksanaan perintah, walau secara umum mereka
melakukannya secara simultan (bersamaan). Tentu saja untuk yang sifatnya wajib
atau fardhu, seperti shalat lima
waktu, puasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan melaksanakan ibadah haji
ketika telah mampu atau mencukupi, akan selalu menjadi prioritas utama bagi
mereka untuk menunaikannya.
Perintah untuk melaksanakan
kebaikan (yang sifatnya bukan wajib/fardhu) biasanya bertingkat-tingkat, dan
sesuai dengan batas kemampuan masing-masing orang. Tetapi ketika menyangkut
maksiat dan larangan Allah, sifatnya tegas dan menyeluruh. Kalau satu botol
atau sejumlah besar khamr (miras, narkoba, dll) haram, maka walau hanya
mencicipi satu sloki, bahkan sesendok atau satu gram khamr juga haram. Kalau
suap dan korupsi bermilyar rupiah haram, maka suap dan korupsi walau hanya
ribuan atau puluhan ribu juga haram. Kalau riba (rente) puluhan persen haram,
maka riba (rente) walau hanya satu, bahkan setengah persen pun haram hukumnya. Begitu
juga dengan berbagai larangan atau kemaksiatan kepada Allah lainnya, atau
kedzaliman kepada sesama mahluk Allah lainnya.
Itulah sebabnya, sebagaimana
dinasehatkan Yahya bin Muadz (rahimahullah), orang-orang yang mulia (al kariim)
itu tidak berani bermaksiat kepada Allah, walau dalam ‘porsi’ sangat kecil atau
sederhana sekalipun. Bagi mereka, lebih baik menghindari berbagai larangan Allah
atau dari bermaksiat kepada-Nya, daripada ‘berlomba-lomba’ untuk melakukan
berbagai kebaikan yang sifatnya sunnah (fadhalah), seperti puasa sunnah, haji
dan umrah selain yang pertama, shalat-shalat sunnah, dan lain-lainnya. Apalah
arti dari semua kebaikan itu jika mereka masih bermaksiat kepada Allah,
terlebih lagi jika menyangkut sumber penghasilan yang tidak halal. Mereka ini akan
‘memilih’ untuk bekerja mencari hasil yang halal, walau untuk itu harus
meninggalkan berbagai amal kebaikan yang sifatnya sunnah tersebut.
Sedangkan orang-orang yang
bijaksana (al Hakiim), bisa dikatakan derajadnya setingkat di atas al Kariim. Bagi
mereka, bukan hanya sekedar perkara haram yang menjadi perhatiannya (untuk
dihindari), tetapi perkara mubah atau halal sekalipun, jika bisa
mengganggu/melalaikan ibadah dan dzikrnya kepada Allah akan langsung ditinggalkan.
Karena itulah al Hakiim ini biasanya bersifat zuhud (tidak terpengaruh
duniawi), wara’ (sangat berhati-hati) dan qana’ah (merasa cukup dengan apa yang
diberikan Allah). Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk persiapan menghadapi
kehidupan akhiratnya, dan sedikit sekali, atau bahkan tidak ada, yang digunakan
untuk ‘menikmati’ kesenangan duniawi.
Abu Darda RA pernah meminta kepada
Nabi SAW agar memberikan wasiat kepadanya, maka beliau bersabda, “Usahakanlah
harta yang halal, beramallah yang saleh, mintalah rezeki kepada Allah sehari
demi sehari, dan perhitungkanlah dirimu di antara orang-orang yang mati!!”
Note:ni6mq205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar