Selasa, 26 Januari 2016

Nasehat ke 14, Mengenal Allah dan Mengenal Diri Sendiri



Seorang Ulama berkata, “Barang siapa yang mengira bahwa ia mempunyai penolong yang lebih utama (hebat) daripada Allah, maka ia hanya sedikit mengenal Allah. Dan barangsiapa yang mengira bahwa ia mempunyai musuh yang lebih kejam daripoda hawa nafsunya, maka ia hanya sedikit mengenal dirinya sendiri.”

            Tujuan utama dari diciptakannya manusia (dan juga jin) adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana disitir dalam QS Adz Dzariyat 56. Tetapi dari masa ke masa, sedikit sekali manusia (dan juga jin) yang BISA mengaplikasikannya secara utuh. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan karena sejak awal diciptakannya Nabi Adam AS, Iblis telah memproklamirkan dirinya untuk memusuhi beliau dan anak keturunannya. Ketika ia dilaknat Allah karena menolak untuk sujud (penghormatan) kepada Nabi Adam AS, ia bersumpah untuk menyesatkan manusia (dan juga jin) dengan segala macam cara dan dari segala arah, untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman di neraka, yang telah ditetapkan Allah sebagai tempat tinggalnya.        
            Perjalanan utama manusia adalah kembali ke tempat asal nenek moyangnya, yakni Nabi Adam AS yang ditempatkan di surga pada awal diciptakan. Dan tentunya tujuan yang lebih tinggi daripada itu adalah kembali kepada Allah, yakni ma’rifat kepada Allah. Tetapi perjalanan itu tidaklah mudah, karena di samping Iblis sebagai musuh, Allah juga membekali manusia dengan hawa nafsu demi untuk kelangsungan hidupnya, yang secara naluriah selalu ingin merasakan kesenangan yang segera dan sesaat. Susah sekali bagi kita mengajak hawa nafsu untuk ‘bersusah-payah’ mengikuti jalan ibadah menuju Allah dan mengabaikan kesenangannya, demi kesenangan dan kenikmatan abadi di akhirat kelak. Dunia dan segala gemebyarnya saat ini lebih memikat hawa nafsu kita daripada kesenangan yang sempurna tanpa batas di surga kelak.
Ketika Allah telah selesai menciptakan surga dan neraka, Allah berfirman kepada Malaikat Jibril, “Pergilah ke surga, dan lihatlah apa yang telah Aku persiapkan untuk penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril memenuhi perintah tersebut, dan beberapa waktu kemudian ia datang menghadap kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun yang pernah mendengar tentang surga tersebut, kecuali ia sangat ingin memasukinya!!”
Kemudian Allah memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) surga tersebut dengan hal-hal yang tidak disukai, dan berbagai macam perintah peribadatan yang harus dilakukan untuk bisa memasukinya. Setelah semua itu selesai, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk sekali lagi melihat keadaan surga. Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi segala keagungan-Mu, ya Allah, aku khawatir tidak seorangpun yang akan mampu untuk memasukinya!!”
Setelah itu Allah berfirman lagi kepada Malaikat Jibril, “Pergilah ke neraka, dan lihatlah apa yang telah Aku persiapkan untuk para penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril memenuhi perintah tersebut, dan ia melihat api neraka itu saling menerkam sebagian atas sebagian lainnya. Beberapa waktu kemudian ia datang menghadap kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun yang pernah mendengar tentangnya, kecuali ia sangat ingin lari dari neraka tersebut!!”
Kemudian Allah memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) neraka tersebut dengan hal-hal yang disukai oleh nafsu syahwat, dan berbagai macam kesenangan lainnya yang terlarang secara syara’. Setelah semua itu selesai, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk sekali lagi mengunjungi neraka. Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi segala keagungan-Mu, ya Allah, aku khawatir tidak ada seorangpun yang akan luput dari padanya, dan mereka akan memasukinya!!”
Dari sinilah sebagian ulama tersebut menasehatkan, bahwa musuh utama bagi seseorang itu bukanlah Iblis dan bala tentaranya, tetapi justru hawa nafsunya sendiri. Segala macam tipu daya dan perangkap Iblis, baik dari sisi gemebyarnya dunia ataupun dari sisi ibadahnya (dengan membuatnya tidak ikhlas), hanya bisa berhasil jika seseorang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya. Tanpa ‘memanfaatkan’ hawa nafsu yang memang jadi bagian yang utuh dari sisi manusiawinya, Iblis dan bala tentaranya dari syaitan, akan kesulitan dalam menyesatkan seseorang dari jalan fitrahnya, yang memang ingin kembali kepada Allah. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Dari masa ke masa, Allah SWT telah mengirimkan para Rasul-Nya untuk membimbing umat manusia agar ‘sukses’ kembali ke tempat asal, surga, hingga yang terakhir adalah junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam ibadah, baik yang sifatnya wajib ataupun sunnah, disampaikan kepada manusia agar memuluskan jalannya kembali ke surga. Tuntunan ibadah tersebut layaknya penolong bagi kita, untuk memerangi berbagai macam musuh yang merintangi jalan kita, termasuk penolong juga dalam mengendalikan hawa nafsu kita. Akan tetapi, sebagaimana nasehat sebagian ulama tersebut, penolong utama kita bukanlah berbagai macam ibadah yang telah kita lakukan, tetapi justru Allah SWT sendiri.
Ketika menafsirkan ayat ke lima dari QS Al Fatihah : Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami mohon pertolongan), para ahli tasauf (ahli kerohanian Islam) menyatakan bahwa, sesungguhnya kita lebih membutuhkan pertolongan Allah dalam beribadah kepada-Nya. Sebab kalau tidak adanya pertolongan Allah, bagaimana kita bisa beribadah dengan benar, dengan ikhlas semata-mata mengharap ridho Allah? Harus diingat, Iblis begitu piawainya dalam memasang perangkapnya, sehingga suatu ibadah yang kita lakukan terkadang hanya untuk ‘memuaskan’ hawa nafsu dan  keinginan kita saja. Ibadah hanya menjadi sarana dan alat untuk ‘menodong’ Allah SWT agar kita memperoleh sesuatu, baik lahiriah ataupun batiniah (kejiwaan), yang sifatnya hanya sesaat menyenangkan hawa nafsu kita.
Oleh karena itu, orang yang benar-benar ma’rifat menyadari bahwa tidak ada musuh yang paling berbahaya kecuali hawa nafsunya sendiri, dan tidak ada penolong baginya yang paling utama kecuali Allah SWT. Pengakuan seperti ini pernah disampaikan oleh Nabi Yusuf AS, sebagaimana disitir dalam QS Yusuf ayat 53 : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.           
           
Note:ni

Nasehat ke 13, Orang yang Ma’rifat dan Orang yang Zuhud



Seorang Ulama berkata, “Kemauan orang yang makrifat (Arif) adalah memuji sedang kemauan orang zuhud (Zahid) adalah berdoa, karena keinginan seorang Arif hanyalah pada (keridhaan) Rabb-nya, sedang keinginan seorang Zahid adalah pada (kemanfaatan) dirinya.” 

Dua kelompok kaum muslimin, kaum Arifin dan kaum Zahidin bisa dikatakan telah mencapai tingkat yang tinggi dalam keimanan dan ketakwaan, di atas umumnya kaum muslimin seperti kita. Bisa jadi secara amalan lahiriah dan ilmu keislaman kelihatannya tidak lebih baik (lebih banyak secara kuantitatif) dari ulama atau ustad yang kita kenali, tetapi keadaan hati mereka itulah yang memperoleh penilaian lebih di sisi Allah. Mungkin ini yang digambarkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau memuji Abu Bakar RA di antara para sahabat lainnya, “Sesungguhnya Abu Bakar itu lebih baik daripada kalian bukan karena lebih banyak shalatnya dan puasanya, tetapi karena sesuatu yang ada di dalam hatinya…”   
Orang Arif adalah adalah orang yang telah mengenal (berma’rifat kepada) Allah dan selalu dalam keadaan mengingat Allah. Dalam beribadah kepada Allah, tidak ada lagi motivasi surga atau neraka, tetapi semata-mata karena cinta. Layaknya seorang yang sedang jatuh cinta, tidak ada yang paling disukainya kecuali hanya memuji dan mengagumi Dzat yang dicintainya. Dan tidak ada yang paling diharapkannya kecuali Allah akan ‘menerima’ cintanya dan melimpahkan keridhaan-Nya.
Orang yang zuhud adalah orang yang ‘berpaling’ dari hal-hal yang bersifat duniawiah. Tidak selalu orang yang fakir atau miskin, tetapi orang kaya yang tidak disibukkan dengan harta dan kehidupan dunianya termasuk dalam kaum zahidin. Nabi Sulaiman AS yang memiliki harta berlimpah dan kekuasaan besar, termasuk terhadap bangsa jin, binatang, bahkan angin, adalah seorang nabi yang zuhud. Tetapi yang paling terkenal kezuhudannya adalah Nabi Isa AS. Begitu zuhudnya beliau ini, sampai ketika Iblis menuduhnya masih ‘memiliki’ dunia karena tidur berbantalkan sebuah batu, beliau melemparkan batu tersebut dan tidak pernah berbantalkan apapun ketika beliau tidur. Sedangkan Rasulullah SAW, bukan hanya seorang nabi yang zuhud, tetapi juga yang paling ma’rifat kepada Allah SWT.
Orang yang zuhud bisa dikatakan sebagai orang yang sangat memahami makna istirja’, yakni kalimat ‘Inna lillaahi wainnaa ilaihi raaji’un” (Sesungguhnya kita ini milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya), sebagaimana disitir dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 156. Mereka menyadari bahwa hal-hal duniawiah akan menyulitkan atau bahkan jadi penghalang ketika akan kembali kepada Allah, karena itu mereka ‘memilih’ untuk berpaling darinya. Kalaupun ada bagian dunia yang dimiliki dan diupayakannya, semata-mata untuk bekal dan penolongnya dalam beribadah dan berdoa kepada Allah, sehingga meringankannya pada yaumul hisab kelak dan akhirnya ia memperoleh derajad yang tinggi di sisi Allah.   

Note:ni9,aks115