Seorang Ulama berkata, “Barang siapa yang
mengira bahwa ia mempunyai penolong yang lebih utama (hebat) daripada Allah,
maka ia hanya sedikit mengenal Allah. Dan barangsiapa yang mengira bahwa ia
mempunyai musuh yang lebih kejam daripoda hawa nafsunya, maka ia hanya sedikit mengenal
dirinya sendiri.”
Tujuan
utama dari diciptakannya manusia (dan juga jin) adalah untuk beribadah kepada
Allah, sebagaimana disitir dalam QS Adz Dzariyat 56. Tetapi dari masa ke masa,
sedikit sekali manusia (dan juga jin) yang BISA mengaplikasikannya secara utuh.
Sebenarnya hal ini tidak mengherankan karena sejak awal diciptakannya Nabi Adam
AS, Iblis telah memproklamirkan dirinya untuk memusuhi beliau dan anak
keturunannya. Ketika ia dilaknat Allah karena menolak untuk sujud
(penghormatan) kepada Nabi Adam AS, ia bersumpah untuk menyesatkan manusia (dan
juga jin) dengan segala macam cara dan dari segala arah, untuk memperoleh
sebanyak-banyaknya teman di neraka, yang telah ditetapkan Allah sebagai tempat
tinggalnya.
Perjalanan
utama manusia adalah kembali ke tempat asal nenek moyangnya, yakni Nabi Adam AS
yang ditempatkan di surga pada awal diciptakan. Dan tentunya tujuan yang lebih
tinggi daripada itu adalah kembali kepada Allah, yakni ma’rifat kepada Allah.
Tetapi perjalanan itu tidaklah mudah, karena di samping Iblis sebagai musuh,
Allah juga membekali manusia dengan hawa nafsu demi untuk kelangsungan
hidupnya, yang secara naluriah selalu ingin merasakan kesenangan yang segera
dan sesaat. Susah sekali bagi kita mengajak
hawa nafsu untuk ‘bersusah-payah’ mengikuti jalan ibadah menuju Allah dan
mengabaikan kesenangannya, demi kesenangan dan kenikmatan abadi di akhirat
kelak. Dunia dan segala gemebyarnya saat ini lebih memikat hawa nafsu kita
daripada kesenangan yang sempurna tanpa batas di surga kelak.
Ketika Allah
telah selesai menciptakan surga dan neraka, Allah berfirman kepada Malaikat
Jibril, “Pergilah ke surga, dan lihatlah apa yang telah Aku persiapkan untuk
penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril
memenuhi perintah tersebut, dan beberapa waktu kemudian ia datang menghadap
kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun
yang pernah mendengar tentang surga tersebut, kecuali ia sangat ingin
memasukinya!!”
Kemudian Allah
memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) surga
tersebut dengan hal-hal yang tidak disukai, dan berbagai macam perintah
peribadatan yang harus dilakukan untuk bisa memasukinya. Setelah semua itu
selesai, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk sekali lagi melihat keadaan
surga. Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi segala keagungan-Mu,
ya Allah, aku khawatir tidak seorangpun yang akan mampu untuk memasukinya!!”
Setelah itu
Allah berfirman lagi kepada Malaikat Jibril, “Pergilah ke neraka, dan lihatlah
apa yang telah Aku persiapkan untuk para penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril
memenuhi perintah tersebut, dan ia melihat api neraka itu saling menerkam
sebagian atas sebagian lainnya. Beberapa waktu kemudian ia datang menghadap
kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun
yang pernah mendengar tentangnya, kecuali ia sangat ingin lari dari neraka
tersebut!!”
Kemudian Allah
memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) neraka
tersebut dengan hal-hal yang disukai oleh nafsu syahwat, dan berbagai macam
kesenangan lainnya yang terlarang secara syara’. Setelah semua itu selesai,
Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk sekali lagi mengunjungi neraka.
Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi segala keagungan-Mu, ya
Allah, aku khawatir tidak ada seorangpun yang akan luput dari padanya, dan
mereka akan memasukinya!!”
Dari sinilah
sebagian ulama tersebut menasehatkan, bahwa musuh utama bagi seseorang itu
bukanlah Iblis dan bala tentaranya, tetapi justru hawa nafsunya sendiri. Segala
macam tipu daya dan perangkap Iblis, baik dari sisi gemebyarnya dunia ataupun
dari sisi ibadahnya (dengan membuatnya tidak ikhlas), hanya bisa berhasil jika
seseorang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya. Tanpa ‘memanfaatkan’ hawa
nafsu yang memang jadi bagian yang utuh dari sisi manusiawinya, Iblis dan bala
tentaranya dari syaitan, akan kesulitan dalam menyesatkan seseorang dari jalan
fitrahnya, yang memang ingin kembali kepada Allah. Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi raaji’uun.
Dari masa ke
masa, Allah SWT telah mengirimkan para Rasul-Nya untuk membimbing umat manusia
agar ‘sukses’ kembali ke tempat asal, surga, hingga yang terakhir adalah
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam ibadah, baik yang sifatnya
wajib ataupun sunnah, disampaikan kepada manusia agar memuluskan jalannya
kembali ke surga. Tuntunan ibadah tersebut layaknya penolong bagi kita, untuk
memerangi berbagai macam musuh yang merintangi jalan kita, termasuk penolong
juga dalam mengendalikan hawa nafsu kita. Akan tetapi, sebagaimana nasehat
sebagian ulama tersebut, penolong utama kita bukanlah berbagai macam ibadah
yang telah kita lakukan, tetapi justru Allah SWT sendiri.
Ketika
menafsirkan ayat ke lima
dari QS Al Fatihah : Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Kepada-Mu kami
menyembah dan kepada-Mu kami mohon pertolongan), para ahli tasauf (ahli
kerohanian Islam) menyatakan bahwa, sesungguhnya kita lebih membutuhkan
pertolongan Allah dalam beribadah kepada-Nya. Sebab kalau tidak adanya
pertolongan Allah, bagaimana kita bisa beribadah dengan benar, dengan ikhlas
semata-mata mengharap ridho Allah? Harus diingat, Iblis begitu piawainya dalam
memasang perangkapnya, sehingga suatu ibadah yang kita lakukan terkadang hanya
untuk ‘memuaskan’ hawa nafsu dan
keinginan kita saja. Ibadah hanya menjadi sarana dan alat untuk
‘menodong’ Allah SWT agar kita memperoleh sesuatu, baik lahiriah ataupun
batiniah (kejiwaan), yang sifatnya hanya sesaat menyenangkan hawa nafsu kita.
Oleh karena itu,
orang yang benar-benar ma’rifat menyadari bahwa tidak ada musuh yang paling
berbahaya kecuali hawa nafsunya sendiri, dan tidak ada penolong baginya yang
paling utama kecuali Allah SWT. Pengakuan seperti ini pernah disampaikan oleh
Nabi Yusuf AS, sebagaimana disitir dalam QS Yusuf ayat 53 : Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Note:ni