Rabu, 24 Juni 2015

Nasehat ke 10, Maksiat sambil Tertawa, Taat sambil Menangis

Sebagian Ahli Zuhud berkata, “Barangsiapa berbuat dosa sambil tertawa, maka Allah akan melemparkannya ke neraka dalam keadaan menangis. Dan barangsiapa berbuat taat sambil menangis, maka Allah akan memasukkannya ke surga dalam keadaan tertawa..!!”

            Pada dasarnya, barangsiapa melakukan perbuatan dosa dan ia tidak bertaubat, atau Allah tidak memberikan maghfirah kepadanya sampai ia menemui kematiannya, dan pada yaumul hisab ia tidak memperoleh syafaat, maka Allah akan melemparkannya ke neraka karena dosa-dosanya tersebut. Begitupun, barangsiapa melakukan perbuatan taat dan kebaikan, walau mungkin perbuatan taatnya itu tidak/belum sempurna, baik dari sisi lahiriah (tata aturan fiqihnya) atau sisi batiniah (misal tentang keikhlasannya, dll), tetapi Allah menerima amal perbuatannya tersebut, maka Allah akan memasukkannya ke surga karena ketaatannya tersebut.
            Apa yang dinasehatkan sebagian ahli zuhud tersebut adalah kondisi yang ‘keterlaluan’ dari seseorang. Seharusnya, seseorang yang bermaksiat itu menangis dan menyesal agar memperoleh ampunan dan maghfirah Allah. Tetapi ini tidak, justru ia tertawa dan ‘bersenang-senang’ ketika melakukan perbuatan maksiat, seolah membanggakan perbuatannya tersebut, seolah ia menantang siksa yang diancamkan Allah dan Rasulullah SAW, baik di dalam  Al Qur’an ataupun hadist Nabi SAW. Dan di zaman akhir hal itu banyak terjadi, bahkan juga dilakukan oleh orang-orang yang mengaku (ber-KTP) beragama Islam.
            Tertawa adalah hal manusiawi sebagai ungkapan perasaan yang wajar terjadi karena beberapa kondisi. Tetapi tertawa ketika melakukan perbuatan maksiat (dosa) seharusnya tidak terjadi, bahkan untuk sesuatu hal yang mubah saja, terkadang Nabi SAW melarang untuk tertawa yang berlebihan. Suatu ketika Beliau SAW berangkat ke masjid dan di perjalanan mendapati beberapa orang sedang berkumpul sambil berbincang dan tertawa terbahak-bahak Beliau menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka membalas salam, beliau bersabda, “Perbanyaklah kalian mengingat sesuatu yang ‘memutuskan kelezatan’ (haadzimil ladzdzaat)!!”
            Salah seorang sahabat berkata, “Apakah haadzmil ladzdzaat, ya Rasulullah??”
            Nabi SAW bersabda, “Al Maut (yakni, kematian)!!”
            Seketika para sahabat tersebut terdiam, dan Nabi SAW meninggalkan majelis mereka. Belum jauh berjalan lagi, beliau melihat sekumpulan sahabat lainnya juga tengah berbincang-bincang dengan tertawa-tawa. Beliau segera menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka menjawab salam, beliau bersabda, “Ingatlah, demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya kalian mengetahui sebagaimana apa yang aku ketahui, tentulah kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis!!”
            Para sahabat itu seketika terdiam, tidak lagi tertawa-tawa seperti sebelumnya. Nabi SAW berpamitan meninggalkan mereka, yang tenggelam dalam tafakkur masing-masing, merenungi perkataan Nabi SAW tersebut. Tetapi belum jauh beliau berjalan, ada lagi sekumpulan sahabat yang berbincang sambil tertawa-tawa juga. Nabi SAW menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka menjawab salam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya asing, dan nanti akan kembali menjadi asing ketika (telah dekat saat) hari kiamat!! Maka, beruntunglah bagi orang-orang yang asing pada (saat dekat) hari kiamat nanti.”
            Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing pada (saat dekat) hari kiamat tersebut??”
            Beliau bersabda, “Yaitu orang-orang yang apabila masyarakat berada dalam kerusakan, maka orang-orang itu berusaha untuk memperbaikinya!!”
            Kembali pada nasehat ahli zuhud di atas, seseorang yang telah melakukan ketaatan sudah sepantasnya kalau ia bergembira, karena telah memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya atau menghindari larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pada kondisi yang ‘keterlaluan’ (dalam arti lebih baik), seseorang itu justru menangis setelah melakukan ketaatan, baik karena alasan/kondisi lahiriah, terlebih lagi karena kondisi batiniah. Walau badan fisiknya telah beribadah misalnya, tetapi ia merasa masih banyak kekurangan dalam sikap batiniahnya. Pikirannya melayang-layang entah kemana tidak tertuju kepada Allah, tidak sepenuhnya ikhlas tetapi masih ada motif-motif duniawiah dan juga pujian mahluk lainnya, makanan dan pakaiannya masih mengandung hal-hal yang haram atau syubhat, bahkan sedikit sekali atau tidak ada dari bagian halalnya, dan lain-lainnya, yang biasanya menyangkut adab (tata-krama) batiniah. Semua itu membuatnya menangis setelah melakukan ketaatan kepada Allah.
            Seperti halnya tertawa, menangis merupakan ungkapan dan luapan perasaan yang sifatnya manusiawi. Bukan hanya karena kesedihan dan musibah, terkadang ketika seseorang merasakan kegembiraan dan kesenangan yang luar biasa, justru ia menangis tanpa ia bisa mengontrol dan menghentikannya. Baru setelah perasaanya mereda, tangisan karena kegembiraan bisa dikuasainya (dihentikannnya).
Menangis ketika melakukan kebaikan dan ketaatan, atau ketika tafakkur kepada Allah adalah sesuatu yang luar biasa, bahkan ada pahala dan derajad tersendiri karena tangisan tersebut. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada air mata yang berlinang (karena takut kepada Allah), melainkan Allah mengharamkan neraka untuk membakarnya. Dan apabila air mata itu menetes pada wajah orang itu, maka wajahnya tidak akan tertutupi debu hitam dan tidak juga kehinaan (pada hari kiamat kelak). Tidak ada suatu amal kebaikan kecuali ia akan memperoleh pahala selain (yang bukan) pahala air mata tersebut, karena sesungguhnya air mata itu dapat memadamkan lautan-lautan api neraka. Dan seandainya ada seseorang yang menangis di tengah-tengah suatu umat karena takut kepada Allah, niscaya Allah akan mengasihani umat itu karena tangisan orang tersebut.
 .         
Note:ni8,tg1-318,tg2-411

Nasehat ke 9, Maksiat karena Nafsu dan Kesombongan

Sufyan ats-Tsauri rahm berkata, “Setiap maksiat yang timbul dari syahwat, dapatlah diharapkan ampunannya. Tetapi kedurhakaan yang timbul dari sikap sombong tidak dapat diharapkan ampunannya, karena kedurhakaan Iblis berpangkal dari kesombongan, sedang kesalahan Nabi Adam AS berpangkal dari syahwat.”

Dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia dapat dibagi dua, yakni dosa yang diakibatkan oleh perbuatan lahiriah, dan diakibatkan oleh perbuatan hati (batiniah). Dosa lahiriah terjadi karena seseorang melanggar/mengerjakan apa yang dilarang oleh hukum agama (Fikih Islam), atau meninggalkan/melalaikan apa yang diperintahkan dalam hukum agama (Fikih Islam). Sedang dosa batiniah terjadi karena melakukan suatu perbuatan yang melanggar/menyimpangi akidah dan akhlak (tata krama), walau mungkin secara logika tidak salah dan tidak tampak secara lahiriah.
Dosa lahiriah misalnya adalah tidak shalat fardhu, tidak berpuasa Ramadhan, menyakiti orang tua, riba, berzina, membunuh orang tanpa hak, minum arak atau sejenisnya, dan lain-lainnya. Dosa batiniah misalnya bersikap hasad dan dengki, riya dan sum’ah, mendendam, dan banyak lainnya, serta dosa ‘tertua’ yang dilakukan iblis, kesombongan.
Sebagaimana nasehat Sufyan ats Tsauri rahm (Rahimatullah) tersebut di atas, orang yang berdosa secara lahiriah semisal memperturutkan nafsu syahwat, baik syahwat perut seperti Nabi Adam AS ketika makan buah pohon kayu (Iblis menyebutnya buah khuldi, buah keabadian di surga), atau syahwat lainnya, masih mudah diharapkan ampunannya. Setelah melakukan dosa tersebut, selalu ada di suatu saat atau di suatu tempat atau di suatu kesempatan dan kondisi, hati nurani (umum menyebutnya hati kecil) orang tersebut akan mengingatkan perbuatan dosanya itu dan mendorongnya untuk meminta ampunan kepada Allah. Hanya saja pertarungan antara nafsu dan hati nuraninya yang menentukan, apakah ia akan ‘mengikuti’ peringatan tersebut atau tidak.
Sementara dosa batiniah, seperti kesombongan Iblis dan Fir’aun misalnya, sulit sekali seseorang itu menyadari kalau sedang melakukan suatu perbuatan dosa. Ketika Iblis menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam AS, ia berdalih bahwa dzat penciptaannya, yakni api lebih baik daripada dzat penciptaan Nabi Adam AS, yakni tanah liat. Apalagi saat itu status dan derajad Iblis, yang saat itu masih bernama Azazil (nama Iblis disematkan setelah Azazil mendapat kutukan Allah), melebihi para malaikat. Para malaikat mengagumi kesalehan dan ketekunan ibadahnya, kepandaian dan tingkat ma’rifatnya sehingga memperoleh derajad yang tinggi dan kedekatan (taqarrub) kepada Allah melebihi mereka semua. 
Azazil sebenarnya dari golongan jin, tetapi bisa dikatakan ia jin yang zuhud (pertapa) dan saleh, yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah SWT. Ketika kaumnya dari bangsa jin banyak berbuat kerusakan di muka bumi, ia makin gencar beribadah dan taqarrub kepada Allah. Ia pun dinaikkan ke langit bumi (samaa’ad-dunya), dan dengan makin tekunnya beribadah, ia terus naik ke lapis-lapis langit berikutnya, hingga dekat dengan singgasana Allah, dan mendapat kepercayaan menjaga kunci-kunci surga. Diperlukan ribuan tahun, sebagian riwayat menyebut 80 ribu tahun dalam peribadatan tanpa terputus, hingga Azazil memperoleh derajad yang seperti itu. Dalam keadaan seperti itu, Allah memerintahkannya untuk bersujud kepada Nabi Adam AS yang baru saja diciptakan, dan timbullah kesombongan dalam hatinya, hingga menolak perintah Allah tersebut. Kata ‘Ana khoirun minhu’ (saya lebih baik daripada dia) yang diucapkannya, mungkin tidak hanya mewakili dzat penciptaannya saja, tetapi juga berbagai kelebihan lain yang dimilikinya. Bisa jadi banyaknya ibadah, ma’rifatnya kepada Allah, ketinggiannya di antara malaikat, keilmuannya dan lain sebagainya.
Dosa-dosa batiniah itu terkadang tidak muncul (terekpresikan) dengan nyata, bahkan yang terlihat kebalikannya. Bisa jadi seseorang terlihat khusyu dan tawadhu’ tetapi hatinya dipenuhi kesombongan (kibr), ujub dan syum’ah. Mungkin ia terlihat sangat dermawan, tetapi sebenarnya hatinya bakhil, pemberiannya dimotivasi oleh ketamakan, memperoleh hasil (harta) yang lebih banyak, penghormatan, derajad/jabatan dan pujian dari orang lain. Karena itulah seseorang yang mengidap ‘dosa batiniah’, terkadang merasa tidak bersalah, sebaliknya mengaku telah berbuat kebaikan sebagaimana diperintahkan agama. Semua itu terjadi karena ia kurang ‘teliti’ dalam mengamati niat dan motivasi hatinya, sehingga keikhlasannya dalam berbuat dan beramal sangat sedikit, atau bahkan sama sekali tidak ada.
Pada zaman Nabi Musa AS, Iblis sempat terbersit untuk taubat. Mungkin ia teringat akan masa-masa sebagai Azazil yang begitu tekun dan ‘asyik’ beribadah kepada Allah, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun beserta sebagian umatnya. Karena itu Iblis menemui beliau dan meminta tolong untuk menanyakan kepada Allah SWT, apakah kalau ia bertaubat saat itu akan diterima. Maka Beliau AS mendaki ke bukit Thursina untuk menyampaikan pertanyaan Iblis tersebut, dan Allah menjanjikan menerima taubatnya, dengan syarat ia mau bersujud di makam Nabi Adam AS. Begitu Nabi Musa AS menyampaikan syarat taubatnya tersebut, muncul lagi kesombongan Iblis. Ia berkata, “Ketika masih hidup saja aku tidak sudi bersujud kepadanya, apalagi sekarang ini ketika ia telah mati  dan terkubur di dalam tanah…!!”
      
Note:ni7ts42