Sabtu, 29 Agustus 2015

Nasehat ke 12, Dosa Kecil dan Dosa Besar

Nabi SAW bersabda, “Dosa kecil tidaklah dipandang kecil jika terus-menerus dilakukan, dan dosa besar tidaklah dipandang besar jika selalu disertai dengan memohon ampunan (beristighfar)”
           
Nasehat Nabi SAW ini tampaknya menjadi dasar dari nasehat hukama sebelumnya, bahwa dosa kecil yang terus menerus dilakukan tidak bisa dikatakan lagi sebagai dosa kecil. Tidak hanya sekedar tumpukan (volume) dosanya yang menjadi besar, tetapi ‘kehendak’ untuk terus melakukan dosa kecil itulah yang justru lebih besar dosanya, karena merupakan dosa batiniah (dosa hati). Apalagi kalau nantinya akan menyeret dirinya untuk melakukan dosa-dosa besar.
Namun dalam nasehat ini, Nabi SAW juga memotivasi umatnya untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah, walau mungkin ia tengah bergelimang dengan dosa-dosa besar, yakni dengan memohon ampunan Allah, selalu beristighfar tanpa henti-hentinya. Nabi SAW sendiri mencontohkan, beliau beristighfar kepada Allah 70 kali (dalam riwayat lainnya 100 kali) setiap harinya, walau beliau ma’shum (terjaga dari dosa).
Memang, salah satu keutamaan umat Nabi Muhammad SAW dibanding dengan umat-umat nabi sebelumnya adalah dalam masalah taubat. Kaum dari nabi sebelumnya, ketika melakukan suatu perbuatan dosa terkadang harus memotong (memutilasi) bagian tubuh yang berdosa tersebut. Terkadang mereka langsung disiksa dengan ditelan bumi, ditenggelamkan, atau dirubah wajahnya menjadi monyet. Bahkan harus membunuh dirinya sendiri (bunuh diri) untuk bisa diampuni dosa-dosanya.
Berbeda dengan mereka, pintu taubat bagi umat Rasulullah SAW selalu terbuka hingga masa yang sangat dekat dengan hari kiamat, yakni ketika matahari terbit dari arah barat. Saat itulah pintu taubat tertutup, dan tidak berarti lagi amal kebaikan, kecuali bagi orang-orang yang telah terbiasa melakukan amal kebaikan itu sebelumnya. Secara pribadi, pintu taubat itu tetap terbuka bagi kaum muslimin sampai saat yang sangat dekat dengan kematian, yakni ketika ruhnya belum sampai di tenggorokannya. Karena itu, bagi kita yang berdosa, siksaan itu ditangguhkan atau bisa jadi dihapuskan jika kita bertaubat dengan sungguh-sunnguh. Bahkan bagi mereka yang mungkin tidak bertaubat hingga kematiannya, masih ada harapan untuk memperoleh syafaat Rasulullah SAW di yaumul makhsyar, walau belum tentu semua orang memperolehnya.     
Bagi beberapa kaum nabi-nabi sebelumnya berlaku kaidah ‘dosa yang pertama dan juga yang terakhir kalinya’, yakni, begitu melakukan dosa yang sama untuk ke dua kalinya, maka tertutuplah pintu taubat dan ia telah menjadi ‘penghuni’ neraka, walau mungkin masih hidup di dunia. Ini berbeda dengan umat Nabi SAW dimana Allah masih selalu membuka pintu rahmat dan maghfirah-Nya, selama sang hamba mau memohon ampunan kepada-Nya walau ia berkali-kali jatuh pada dosa yang sama. Bahkan salah satu dosa terbesar yang mungkin akan sulit memperoleh syafaat pada hari kiamat kelak adalah dosa ‘berputus asa’ dari rahmat Allah. Yakni, ia beranggapan Allah tidak akan mau mengampuni dosa-dosanya yang selalu berulang-ulang dilakukannya, yang begitu banyak dan bertumpuk-tumpuk hingga layaknya memenuhi bumi dan langit

Note:ni9

Nasehat ke 11, Dosa Kecil Tempat Persemaian Dosa Besar

Sebagian Ahli Hikmah (Hukama) berkata, “Janganlah meremehkan dosa-dosa kecil, karena dari situlah bersemi dosa-dosa besar”

Walau pada dasarnya dosa kecil dan dosa besar itu sama, yakni merupakan bentuk pelanggaran terhadap larangan-larangan Allah SWT dan Rasulullah SAW, atau pengabaian (tidak melaksanakan) perintah-perintah Allah dan Nabi SAW, tetapi berbeda dalam bentuk ampunan yang datang dari Allah. Dosa kecil akan ‘otomatis’ (seketika) diampuni oleh Allah ketika orang itu melakukan suatu amal kebaikan, semisal berwudhu, shalat, bersedekah, membantu saudara sesama muslim, dll-nya. Hal ini sejalan dengan apa yang disabdakan Nabi SAW, “Ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya menghapuskannya.”
Atau dalam redaksi lainnya, Beliau bersabda, “Sesungguhnya amal kebaikan itu menutup/ menghapuskan amal kejelekan.”
Tetapi dosa besar, semisal memusyrikkan Allah, durhaka kepada orang tua, meninggalkan shalat, minum khamr (miras, narkoba dan obat-obatan terlarang), memakan (menjalankan) riba, membunuh tanpa hak, berzina, dll-nya, belum akan diampuni oleh Allah sebelum ia bertaubat yang sungguh-sungguh (taubatan nashuha). Taubat nasuha ini harus diawali dengan penyesalan, kemudian harus ‘berhenti’ dari perbuatan yang menyebabkan dosa tersebut, diikuti dengan niat kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Jika menyangkut dengan hak manusia lainnya, baik harta atau kehormatannya, maka ia harus mengembalikan atau meminta halalnya.
Namun demikian, seperti nasehat hukama di atas, kita tidak boleh meremehkan dosa-dosa kecil, merasa ringan dan enteng saja melakukannya hanya karena telah terbiasa berbuat amal kebaikan. Dosa-dosa kecil, jika sering dilakukan pastilah akan menjadi tumpukan (volume) yang besar. Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit, begitu istilah peribahasanya. Sedangkan amal kebaikan, walau sering sekali dilakukan, belum tentu akan menjadi tumpukan (volume) besar. Hanya amal kebaikan yang diterima oleh Allah saja yang bermanfaat, sedang syarat untuk diterima sangat berat, khususnya syarat batiniah yang bernama ‘ikhlas’.
Ketika seseorang telah telah dilingkupi oleh dosa-dosa kecil, tanpa sadar ia akan mudah terjatuh pada dosa-dosa besar. Apalagi tidak bisa dihindari, musuh utama kita, iblis dan anak buahnya, syaitan yang terkutuk, pastilah akan berupaya keras menutupi dosa-dosa kita, dan menghiasi serta meninggikan amal-amal kebaikan kita, sehingga tanpa sadar kita telah masuk perangkapnya. Kalau masuk perangkap dalam acara SUPERTRAP atau acara sejenisnya, hanya menjadi guyonan sesaat dan tidak berakibat fatal, tetapi jika masuk dalam perangkap Iblis dan syaitan (al ghurur, tertipu), kita akan menyesal seumur hidup, menjadi teman-temannya di neraka yang abadi, naudzubillahi min dzaalik.
       
Note:ni8iu7158

Rabu, 24 Juni 2015

Nasehat ke 10, Maksiat sambil Tertawa, Taat sambil Menangis

Sebagian Ahli Zuhud berkata, “Barangsiapa berbuat dosa sambil tertawa, maka Allah akan melemparkannya ke neraka dalam keadaan menangis. Dan barangsiapa berbuat taat sambil menangis, maka Allah akan memasukkannya ke surga dalam keadaan tertawa..!!”

            Pada dasarnya, barangsiapa melakukan perbuatan dosa dan ia tidak bertaubat, atau Allah tidak memberikan maghfirah kepadanya sampai ia menemui kematiannya, dan pada yaumul hisab ia tidak memperoleh syafaat, maka Allah akan melemparkannya ke neraka karena dosa-dosanya tersebut. Begitupun, barangsiapa melakukan perbuatan taat dan kebaikan, walau mungkin perbuatan taatnya itu tidak/belum sempurna, baik dari sisi lahiriah (tata aturan fiqihnya) atau sisi batiniah (misal tentang keikhlasannya, dll), tetapi Allah menerima amal perbuatannya tersebut, maka Allah akan memasukkannya ke surga karena ketaatannya tersebut.
            Apa yang dinasehatkan sebagian ahli zuhud tersebut adalah kondisi yang ‘keterlaluan’ dari seseorang. Seharusnya, seseorang yang bermaksiat itu menangis dan menyesal agar memperoleh ampunan dan maghfirah Allah. Tetapi ini tidak, justru ia tertawa dan ‘bersenang-senang’ ketika melakukan perbuatan maksiat, seolah membanggakan perbuatannya tersebut, seolah ia menantang siksa yang diancamkan Allah dan Rasulullah SAW, baik di dalam  Al Qur’an ataupun hadist Nabi SAW. Dan di zaman akhir hal itu banyak terjadi, bahkan juga dilakukan oleh orang-orang yang mengaku (ber-KTP) beragama Islam.
            Tertawa adalah hal manusiawi sebagai ungkapan perasaan yang wajar terjadi karena beberapa kondisi. Tetapi tertawa ketika melakukan perbuatan maksiat (dosa) seharusnya tidak terjadi, bahkan untuk sesuatu hal yang mubah saja, terkadang Nabi SAW melarang untuk tertawa yang berlebihan. Suatu ketika Beliau SAW berangkat ke masjid dan di perjalanan mendapati beberapa orang sedang berkumpul sambil berbincang dan tertawa terbahak-bahak Beliau menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka membalas salam, beliau bersabda, “Perbanyaklah kalian mengingat sesuatu yang ‘memutuskan kelezatan’ (haadzimil ladzdzaat)!!”
            Salah seorang sahabat berkata, “Apakah haadzmil ladzdzaat, ya Rasulullah??”
            Nabi SAW bersabda, “Al Maut (yakni, kematian)!!”
            Seketika para sahabat tersebut terdiam, dan Nabi SAW meninggalkan majelis mereka. Belum jauh berjalan lagi, beliau melihat sekumpulan sahabat lainnya juga tengah berbincang-bincang dengan tertawa-tawa. Beliau segera menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka menjawab salam, beliau bersabda, “Ingatlah, demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya kalian mengetahui sebagaimana apa yang aku ketahui, tentulah kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis!!”
            Para sahabat itu seketika terdiam, tidak lagi tertawa-tawa seperti sebelumnya. Nabi SAW berpamitan meninggalkan mereka, yang tenggelam dalam tafakkur masing-masing, merenungi perkataan Nabi SAW tersebut. Tetapi belum jauh beliau berjalan, ada lagi sekumpulan sahabat yang berbincang sambil tertawa-tawa juga. Nabi SAW menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka menjawab salam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya asing, dan nanti akan kembali menjadi asing ketika (telah dekat saat) hari kiamat!! Maka, beruntunglah bagi orang-orang yang asing pada (saat dekat) hari kiamat nanti.”
            Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing pada (saat dekat) hari kiamat tersebut??”
            Beliau bersabda, “Yaitu orang-orang yang apabila masyarakat berada dalam kerusakan, maka orang-orang itu berusaha untuk memperbaikinya!!”
            Kembali pada nasehat ahli zuhud di atas, seseorang yang telah melakukan ketaatan sudah sepantasnya kalau ia bergembira, karena telah memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya atau menghindari larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pada kondisi yang ‘keterlaluan’ (dalam arti lebih baik), seseorang itu justru menangis setelah melakukan ketaatan, baik karena alasan/kondisi lahiriah, terlebih lagi karena kondisi batiniah. Walau badan fisiknya telah beribadah misalnya, tetapi ia merasa masih banyak kekurangan dalam sikap batiniahnya. Pikirannya melayang-layang entah kemana tidak tertuju kepada Allah, tidak sepenuhnya ikhlas tetapi masih ada motif-motif duniawiah dan juga pujian mahluk lainnya, makanan dan pakaiannya masih mengandung hal-hal yang haram atau syubhat, bahkan sedikit sekali atau tidak ada dari bagian halalnya, dan lain-lainnya, yang biasanya menyangkut adab (tata-krama) batiniah. Semua itu membuatnya menangis setelah melakukan ketaatan kepada Allah.
            Seperti halnya tertawa, menangis merupakan ungkapan dan luapan perasaan yang sifatnya manusiawi. Bukan hanya karena kesedihan dan musibah, terkadang ketika seseorang merasakan kegembiraan dan kesenangan yang luar biasa, justru ia menangis tanpa ia bisa mengontrol dan menghentikannya. Baru setelah perasaanya mereda, tangisan karena kegembiraan bisa dikuasainya (dihentikannnya).
Menangis ketika melakukan kebaikan dan ketaatan, atau ketika tafakkur kepada Allah adalah sesuatu yang luar biasa, bahkan ada pahala dan derajad tersendiri karena tangisan tersebut. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada air mata yang berlinang (karena takut kepada Allah), melainkan Allah mengharamkan neraka untuk membakarnya. Dan apabila air mata itu menetes pada wajah orang itu, maka wajahnya tidak akan tertutupi debu hitam dan tidak juga kehinaan (pada hari kiamat kelak). Tidak ada suatu amal kebaikan kecuali ia akan memperoleh pahala selain (yang bukan) pahala air mata tersebut, karena sesungguhnya air mata itu dapat memadamkan lautan-lautan api neraka. Dan seandainya ada seseorang yang menangis di tengah-tengah suatu umat karena takut kepada Allah, niscaya Allah akan mengasihani umat itu karena tangisan orang tersebut.
 .         
Note:ni8,tg1-318,tg2-411

Nasehat ke 9, Maksiat karena Nafsu dan Kesombongan

Sufyan ats-Tsauri rahm berkata, “Setiap maksiat yang timbul dari syahwat, dapatlah diharapkan ampunannya. Tetapi kedurhakaan yang timbul dari sikap sombong tidak dapat diharapkan ampunannya, karena kedurhakaan Iblis berpangkal dari kesombongan, sedang kesalahan Nabi Adam AS berpangkal dari syahwat.”

Dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia dapat dibagi dua, yakni dosa yang diakibatkan oleh perbuatan lahiriah, dan diakibatkan oleh perbuatan hati (batiniah). Dosa lahiriah terjadi karena seseorang melanggar/mengerjakan apa yang dilarang oleh hukum agama (Fikih Islam), atau meninggalkan/melalaikan apa yang diperintahkan dalam hukum agama (Fikih Islam). Sedang dosa batiniah terjadi karena melakukan suatu perbuatan yang melanggar/menyimpangi akidah dan akhlak (tata krama), walau mungkin secara logika tidak salah dan tidak tampak secara lahiriah.
Dosa lahiriah misalnya adalah tidak shalat fardhu, tidak berpuasa Ramadhan, menyakiti orang tua, riba, berzina, membunuh orang tanpa hak, minum arak atau sejenisnya, dan lain-lainnya. Dosa batiniah misalnya bersikap hasad dan dengki, riya dan sum’ah, mendendam, dan banyak lainnya, serta dosa ‘tertua’ yang dilakukan iblis, kesombongan.
Sebagaimana nasehat Sufyan ats Tsauri rahm (Rahimatullah) tersebut di atas, orang yang berdosa secara lahiriah semisal memperturutkan nafsu syahwat, baik syahwat perut seperti Nabi Adam AS ketika makan buah pohon kayu (Iblis menyebutnya buah khuldi, buah keabadian di surga), atau syahwat lainnya, masih mudah diharapkan ampunannya. Setelah melakukan dosa tersebut, selalu ada di suatu saat atau di suatu tempat atau di suatu kesempatan dan kondisi, hati nurani (umum menyebutnya hati kecil) orang tersebut akan mengingatkan perbuatan dosanya itu dan mendorongnya untuk meminta ampunan kepada Allah. Hanya saja pertarungan antara nafsu dan hati nuraninya yang menentukan, apakah ia akan ‘mengikuti’ peringatan tersebut atau tidak.
Sementara dosa batiniah, seperti kesombongan Iblis dan Fir’aun misalnya, sulit sekali seseorang itu menyadari kalau sedang melakukan suatu perbuatan dosa. Ketika Iblis menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam AS, ia berdalih bahwa dzat penciptaannya, yakni api lebih baik daripada dzat penciptaan Nabi Adam AS, yakni tanah liat. Apalagi saat itu status dan derajad Iblis, yang saat itu masih bernama Azazil (nama Iblis disematkan setelah Azazil mendapat kutukan Allah), melebihi para malaikat. Para malaikat mengagumi kesalehan dan ketekunan ibadahnya, kepandaian dan tingkat ma’rifatnya sehingga memperoleh derajad yang tinggi dan kedekatan (taqarrub) kepada Allah melebihi mereka semua. 
Azazil sebenarnya dari golongan jin, tetapi bisa dikatakan ia jin yang zuhud (pertapa) dan saleh, yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah SWT. Ketika kaumnya dari bangsa jin banyak berbuat kerusakan di muka bumi, ia makin gencar beribadah dan taqarrub kepada Allah. Ia pun dinaikkan ke langit bumi (samaa’ad-dunya), dan dengan makin tekunnya beribadah, ia terus naik ke lapis-lapis langit berikutnya, hingga dekat dengan singgasana Allah, dan mendapat kepercayaan menjaga kunci-kunci surga. Diperlukan ribuan tahun, sebagian riwayat menyebut 80 ribu tahun dalam peribadatan tanpa terputus, hingga Azazil memperoleh derajad yang seperti itu. Dalam keadaan seperti itu, Allah memerintahkannya untuk bersujud kepada Nabi Adam AS yang baru saja diciptakan, dan timbullah kesombongan dalam hatinya, hingga menolak perintah Allah tersebut. Kata ‘Ana khoirun minhu’ (saya lebih baik daripada dia) yang diucapkannya, mungkin tidak hanya mewakili dzat penciptaannya saja, tetapi juga berbagai kelebihan lain yang dimilikinya. Bisa jadi banyaknya ibadah, ma’rifatnya kepada Allah, ketinggiannya di antara malaikat, keilmuannya dan lain sebagainya.
Dosa-dosa batiniah itu terkadang tidak muncul (terekpresikan) dengan nyata, bahkan yang terlihat kebalikannya. Bisa jadi seseorang terlihat khusyu dan tawadhu’ tetapi hatinya dipenuhi kesombongan (kibr), ujub dan syum’ah. Mungkin ia terlihat sangat dermawan, tetapi sebenarnya hatinya bakhil, pemberiannya dimotivasi oleh ketamakan, memperoleh hasil (harta) yang lebih banyak, penghormatan, derajad/jabatan dan pujian dari orang lain. Karena itulah seseorang yang mengidap ‘dosa batiniah’, terkadang merasa tidak bersalah, sebaliknya mengaku telah berbuat kebaikan sebagaimana diperintahkan agama. Semua itu terjadi karena ia kurang ‘teliti’ dalam mengamati niat dan motivasi hatinya, sehingga keikhlasannya dalam berbuat dan beramal sangat sedikit, atau bahkan sama sekali tidak ada.
Pada zaman Nabi Musa AS, Iblis sempat terbersit untuk taubat. Mungkin ia teringat akan masa-masa sebagai Azazil yang begitu tekun dan ‘asyik’ beribadah kepada Allah, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun beserta sebagian umatnya. Karena itu Iblis menemui beliau dan meminta tolong untuk menanyakan kepada Allah SWT, apakah kalau ia bertaubat saat itu akan diterima. Maka Beliau AS mendaki ke bukit Thursina untuk menyampaikan pertanyaan Iblis tersebut, dan Allah menjanjikan menerima taubatnya, dengan syarat ia mau bersujud di makam Nabi Adam AS. Begitu Nabi Musa AS menyampaikan syarat taubatnya tersebut, muncul lagi kesombongan Iblis. Ia berkata, “Ketika masih hidup saja aku tidak sudi bersujud kepadanya, apalagi sekarang ini ketika ia telah mati  dan terkubur di dalam tanah…!!”
      
Note:ni7ts42

Jumat, 09 Januari 2015

Nasehat ke 8, Modal Takwa dan Modal Dunia

Al-A’masyi rahm berkata, “Barangsiapa yang modal pokoknya takwa, maka lidah-lidah akan kelu menyifati keuntungan agamanya. Dan barangsiapa yang modal pokoknya adalah dunia, maka lidah-lidah juga tidak mampu menjumlahkan kerugian agamanya.” 

Kehidupan ini layaknya sebuah perniagaan yang menjanjikan sebuah keuntungan, baik keuntungan jangka pendek ataupun jangka panjang. Hanya saja, kebanyakan orang tertipu, baik oleh godaan syaitan atau hawa nafsunya, untuk mengejar keuntungan jangka pendek saja (yakni kesenangan duniawi) dan melalaikan keuntungan jangka panjangnya (yakni kesenangan akhirat). Padahal hakikat penciptaan manusia (dan juga jin) di bumi ini agar mereka bisa memetik dan menikmati kesenangan hidupnya yang abadi di akhirat, sebagaimana Firman Allah dalam QS adz-Dzaariyaat 56 : Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Berbeda dengan mahluk Allah lainnya seperti hewan, tumbuhan, alam semesta dan lain-lainnya, termasuk malaikat, manusia dan jin memang diberikan ‘kebebasan’ bertindak dalam mengisi kehidupannya. Walau pada dasarnya diciptakan untuk beribadah kepada Allah, tetapi dalam batas-batas tertentu, mereka diberikan kemampuan untuk memilih dan ‘memanajemen’ apa yang mereka ‘kehendaki’ di dunia ini. Hanya saja pilihan apapun yang mereka lakukan, mereka akan mendapat konsekuensinya, yakni balasannya. Dan balasan yang sesungguhnya itu adalah di akhirat. Bisa saja seseorang itu seolah-oleh memperoleh hasil dan balasan yang baik dan melimpah di dunia, tetapi sebenarnya hanya kerugian besar di akhirat. Sebaliknya, ada orang yang merasakan kerugian dan kesengsaraan besar di dunia, tetapi sebenarnya ia bakal memperoleh keuntungan dan hasil (balasan) yang tidak terkira besarnya di akhirat kelak.
Karena itu sebagaimana nasehat al A’masyi (rahimahullah) tersebut di atas, jika manusia (dan juga jin) menjalankan ‘perniagaan’ hidupnya dengan modal pokok ketakwaan, yakni selalu mengisi dan ‘menjalankan perniagaannya’ dengan ibadah demi ibadah kepada Allah, maka ia akan memperoleh keuntungan agamawi yang tidak terkira. Tentu saja jika ia melaksanakan semuanya itu semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah dan balasan terbaik di akhirat. Kalaupun ada ‘balasan’ duniawi yang diterimanya, ia tidak terpengaruh dan tidak terlalaikan dari tujuan akhiratnya, apalagi sampai tenggelam menikmatinya. Ia akan terus bersabar menjalankan ibadah dan penghambaan kepada Allah, sampai Allah akan ‘memanggil’-nya dengan penuh kasih sayang, “Wahai jiwa yang tenang (an nafs al muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya, maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku…!”
Sebaliknya, jika manusia (dan juga jin) menjalankan ‘perniagaan’ hidupnya dengan modal pokok duniawi, maka sebagaimana nasehat al A’masyi tersebut, maka ia akan mendapat kerugian agamawi, yakni kerugian akhirat, yang tidak terkira besarnya. Bisa saja kelihatannya ia mendapat keuntungan dan kesenangan hidup yang begitu besar, tidak terukur dan seakan tidak ada habis-habisnya. Tetapi begitu ia memasuki alam kubur (walau mungkin jasad fisiknya tidak terkubur di tanah), ia mulai merasakan kerugian dan kesengsaraan yang sebenarnya. Bisa saja jasad fisiknya dikuburkan dalam pemakaman yang indah dan mewah laksana taman surga, bahkan juga dituliskan kata-kata ‘Istirahat dalam Kedamaian’ pada nisannya, dan berbagai tulisan indah dan menyejukkan lainnya. Tetapi sebenarnya, tidak sampai dua tiga meter di bawahnya, ia tengah merasakan beratnya ‘siksaan kubur’, yang tentunya belum seberapa jika dibandingkan dengan kesengsaraan di akhirat kelak, yakni di dalam neraka.

Note:ni7

Nasehat ke 7, Sikap Orang Mulia (Kariim) dan Orang Bijaksana (Hakiim)

Yahya bin Muadz rahm, “Orang mulia (al kariim) tidak berani berbuat maksiat kepada Allah, sedangkan orang yang bijaksana (al hakiim) tidak akan mementingkan dunia atas akhiratnya.”

Baik al Kariim (orang-orang yang mulia) atau al Hakiim (orang yang bijaksana) termasuk dalam kelompok muttaqiin (orang-orang yang bertakwa), hanya saja berbeda dalam derajad ketakwaannya. Yakni, mereka yang selalu membersihkan jiwanya dan selalu mengikuti ‘ilham’ ketakwaan, sebagaimana disitir dalam QS Asy Syam ayat 8-9.
Orang-orang yang termasuk dalam al Kariim, selalu berusaha untuk ‘meningkatkan’ ketakwaannya dengan jalan selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya (tidak bermaksiat). Biasanya mereka ini lebih mendahulukan untuk menjauhi larangan dan kemaksiatan, daripada pelaksanaan perintah, walau secara umum mereka melakukannya secara simultan (bersamaan). Tentu saja untuk yang sifatnya wajib atau fardhu, seperti shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan melaksanakan ibadah haji ketika telah mampu atau mencukupi, akan selalu menjadi prioritas utama bagi mereka untuk menunaikannya.
Perintah untuk melaksanakan kebaikan (yang sifatnya bukan wajib/fardhu) biasanya bertingkat-tingkat, dan sesuai dengan batas kemampuan masing-masing orang. Tetapi ketika menyangkut maksiat dan larangan Allah, sifatnya tegas dan menyeluruh. Kalau satu botol atau sejumlah besar khamr (miras, narkoba, dll) haram, maka walau hanya mencicipi satu sloki, bahkan sesendok atau satu gram khamr juga haram. Kalau suap dan korupsi bermilyar rupiah haram, maka suap dan korupsi walau hanya ribuan atau puluhan ribu juga haram. Kalau riba (rente) puluhan persen haram, maka riba (rente) walau hanya satu, bahkan setengah persen pun haram hukumnya. Begitu juga dengan berbagai larangan atau kemaksiatan kepada Allah lainnya, atau kedzaliman kepada sesama mahluk Allah lainnya.
Itulah sebabnya, sebagaimana dinasehatkan Yahya bin Muadz (rahimahullah), orang-orang yang mulia (al kariim) itu tidak berani bermaksiat kepada Allah, walau dalam ‘porsi’ sangat kecil atau sederhana sekalipun. Bagi mereka, lebih baik menghindari berbagai larangan Allah atau dari bermaksiat kepada-Nya, daripada ‘berlomba-lomba’ untuk melakukan berbagai kebaikan yang sifatnya sunnah (fadhalah), seperti puasa sunnah, haji dan umrah selain yang pertama, shalat-shalat sunnah, dan lain-lainnya. Apalah arti dari semua kebaikan itu jika mereka masih bermaksiat kepada Allah, terlebih lagi jika menyangkut sumber penghasilan yang tidak halal. Mereka ini akan ‘memilih’ untuk bekerja mencari hasil yang halal, walau untuk itu harus meninggalkan berbagai amal kebaikan yang sifatnya sunnah tersebut.
Sedangkan orang-orang yang bijaksana (al Hakiim), bisa dikatakan derajadnya setingkat di atas al Kariim. Bagi mereka, bukan hanya sekedar perkara haram yang menjadi perhatiannya (untuk dihindari), tetapi perkara mubah atau halal sekalipun, jika bisa mengganggu/melalaikan ibadah dan dzikrnya kepada Allah akan langsung ditinggalkan. Karena itulah al Hakiim ini biasanya bersifat zuhud (tidak terpengaruh duniawi), wara’ (sangat berhati-hati) dan qana’ah (merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah). Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk persiapan menghadapi kehidupan akhiratnya, dan sedikit sekali, atau bahkan tidak ada, yang digunakan untuk ‘menikmati’ kesenangan duniawi.
Abu Darda RA pernah meminta kepada Nabi SAW agar memberikan wasiat kepadanya, maka beliau bersabda, “Usahakanlah harta yang halal, beramallah yang saleh, mintalah rezeki kepada Allah sehari demi sehari, dan perhitungkanlah dirimu di antara orang-orang yang mati!!”

Note:ni6mq205