Rabu, 10 Desember 2014

Nasehat ke 6, Mencari Ilmu dan Mencari Maksiat

Ali bin Abi Thalib berkata, “Barangsiapa yang mencari ilmu, maka surgalah yang dicarinya. Dan barangsiapa mencari maksiat, maka nerakalah yang dicarinya.”

Nasehat Ali bin Abi Thalib ini sudah sangat jelas, banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an dan juga sabda Nabi SAW yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan orang-orang yang mencari ilmu. Bahkan menuntut ilmu itu merupakan kewajiban (fardhu) yang sangat difardhukan. Nabi SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu sangat difardhukan (fariidhatan) atas setiap muslim.”
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menempuhkan (memudahkan) jalannya ke surga!!”
Dan masih banyak lagi hadits Nabi SAW lainnya.
Tetapi tentunya ‘ilmu’ yang dimaksud adalah ilmu yang mendorong seseorang untuk makin meningkatkan kualitas dan kuantitas ketakwaannya kepada Allah. Kalau dengan ilmu yang dicarinya itu ia hanya ingin menumpuk kekayaan duniawi, kemudian terlena dengan kesenangan duniawi semata hingga melalaikan akhiratnya, maka sama artinya ia tengah merintis jalan ke neraka dengan ilmu yang dicarinya tersebut. Apa yang dimaksudkannya dengan ‘mencari ilmu’, pada dasarnya ia sedang ‘mencari maksiat’ sebagaimana disitir pada nasehat tersebut di atas.
Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu, yang seharusnya ditujukan untuk mencari keridha’an Allah, ia mempelajarinya tidak untuk itu (mencari ridha Allah) tetapi untuk mendapatkan kedudukan/kekayaan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan baunya surga pada hari kiamat kelak.”
Baunya saja tidak dapat, apalagi memasuki surga. Padahal dalam riwayat lainnya Nabi SAW menjelaskan bahwa baunya surga bisa diendus dari jarak limaratus tahun perjalanan.
Begitu juga, seseorang mencari ilmu seharusnya untuk diamalkan, atau untuk memperbaiki kualitas ibadah yang dilakukannya. Jika ia ‘menumpuk’ ilmu hanya untuk berbangga-banggaan saja, atau untuk memperoleh penghargaan dari masyarakat, tanpa ia sendiri mengamalkannya, maka ia akan memperoleh siksaan yang luar biasa pedihnya pada hari kiamat kelak.
Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari kiamat akan didatangkan seorang alim kemudian dimasukkan ke dalam neraka, maka keluarlah isi perutnya lalu ia mengitarinya, sebagaimana keledai mengitari gilingan gandum. Maka para penghuni neraka (yang heran karena mengenalnya sebagai seorang yang alim) mendatanginya dan bertanya, ‘Mengapakah engkau ini?’ Ia menjawab, “Saya memerintahkan kebaikan tetapi saya tidak mengerjakannya. Dan saya melarang keburukan tetapi saya justru menjalankannya’.”

Note:ni6rs2-285iu1-27

Nasehat ke 5, Memikirkan Dunia dan Memikirkan Akhirat

Utsman bin Affan RA berkata, “Bingung memikirkan dunia akan menjadikan hati gelap, sedangkan bingung memikirkan akhirat akan menjadikan hati terang.”

Sebagai mahluk yang dibekali dengan akal, manusia tidak akan lepas dengan apa yang dinamakan proses ‘berfikir’. Tetapi karena manusia juga dibekali dengan nafsu, beberapa filosof menyebutkan bahwa manusia itu adalah ‘binatang’ yang berfikir. Selama masih normal, tidak ada seorang manusia kecuali ia akan selalu ‘berfikir’. Dalam berfikir, seseorang akan dipengaruhi oleh prioritas hidup yang ‘dipilih’-nya, sementara Allah memberikan ‘modal dasar’ yang sama, sebagaimana disitir dalam QS surah Asy-Syams 7-10 : Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Jalan kefasikan (fajir) didorong oleh nafsu, sedangkan jalan ketakwaan didorong oleh hati (qolbu). Nafsu dan hati bisa dikatakan sebagai dua sisi yang berlawanan, nafsu dalam keadaan aslinya, akan selalu menuntut untuk dipenuhi kesenangannya yang sesaat. Jika dibiarkan nafsu menguasai diri seseorang, maka hatinya akan menjadi gelap. Tetapi sebaliknya, jika seseorang mampu ‘mendidik’ nafsunya sehingga menjadi nafsu yang ‘muthmainnah’, maka hati nuraninya (qolbu) menjadi terang benderang, dan akan menjadi pusat kontrol dirinya.
Karena itulah, jika nafsu yang lebih dominan pada diri seseorang, maka proses berfikir dan aktivitas hidupnya akan lebih banyak ditujukan untuk kesenangan duniawiah semata-mata. Sebaliknya, jika hati (qolbu) yang lebih dominan pada diri seseorang, maka proses berfikir dan aktivitas hidupnya akan lebih banyak ditujukan untuk keselamatan dalam kehidupan akhirat. Kalaupun ada aktivitas duniawiahnya, semua itu ditujukan untuk mendukung ‘bekal’ akhiratnya.
Dengan nasehatnya tersebut, sahabat Utsman bin Affan RA tidak bermaksud agar kita ‘meninggalkan’ semua aktivitas kehidupan dunia (pekerjaan, kehidupan sosial, dll). Kita semua tahu bahwa beliau adalah seorang sahabat Nabi SAW yang juga seorang pedagang yang sukses, kalau sekarang bisa dibilang sebagai seorang ‘konglomerat’. Tetapi dengan kesibukannya itu beliau sama sekali tidak melalaikan kehidupan akhiratnya, bahkan sebagian besar harta hasil perdagangannya itu digunakan untuk membantu perjuangan Nabi SAW dan untuk kepentingan masyarakat, sebagaimana sahabat Abdurrahman bin Auf.
Tidak semua orang bisa sukses sebagaimana sahabat Utsman atau Ibnu Auf. Ada juga orang yang sangat ‘disibukkan’ dengan aktivitas duniawiah, padahal hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya saja, itupun terkadang masih kurang, bahkan tidak jarang pulang dengan tangan hampa. Bagi mereka ini, asalkan tidak meninggalkan kewajibannya kepada Allah dan berusaha untuk tidak terjatuh pada jalan yang diharamkan Allah, kesibukannya dalam aktivitas dunia bisa jadi malah meningkatkan derajadnya di akhirat. Kisah berikut ini mungkin bisa memberikan gambaran.
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjabat sebagai khalifah, bertemu dengan sahabat Salman al Farisi. Ali menyapanya, “Apa kabar dirimu, wahai Salman?”
Salman berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya sedang memikirkan empat kesusahan yang saya alami!!”
“Kesusahan apa?” Tanya Ali.
Salman berkata, “Kesusahan keluarga karena membutuhkan roti (makanan pokok), kesusahan karena perintah Allah untuk menjalankan taat, kesusahan karena godaan syetan yang selalu mengajak maksiat, dan kesusahan karena akan datangnya malaikat maut untuk mencabut nyawaku!!”      
Reaksi yang diberikan Ali sungguh mengejutkan, “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, pada setiap keadaan itu, engkau memiliki derajad (kedudukan utama) di sisi Allah”
Tentu saja Salman kebingungan melihat reaksi sahabat dan menantu Rasulullah SAW itu. Kemudian Ali menceritakan, bahwa ketika Nabi SAW masih hidup, suatu pagi ia bertemu dengan beliau dan beliau bersabda, “Bagaimana pagimu, ya Ali?”
“Wahai Rasulullah,” Kata Ali, “Saya berada dalam kesedihan karena memikirkan empat hal. Saya tidak memiliki apapun (untuk makan) kecuali hanya air, saya sedih dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah (apakah akan diterima?), saya sedih tentang balasan amal (apakah lebih banyak kebaikannya?), dan saya sedih akan datangnya malaikat maut (apakah akan khusnul khotimah?).”
Mendengar jawaban Ali tersebut, dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Bergembiralah wahai Ali, sesungguhnya kesedihan karena memikirkan keluarga adalah tabir dari neraka, dan kesedihan karena memikirkan ketaatan kepada Allah al Khaliq adalah (kunci) keamananmu dari azab, kesedihan karena memikirkan balasan amal adalah jihad, yang hal itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun, dan kesedihan karena memikirkan akan datangnya malaikat maut adalah kafarat (pelebur, penebus) dari dosa-dosamu. Ketahuilah, wahai Ali, rezeki Allah kepada hamba-Nya itu tidak karena kesedihan itu. Kesedihan tidak berpengaruh apa-apa (atas pembagian rezeki dari Allah) kecuali semakin menambah pahala. Jadilah orang yang bersyukur dan tawakal, niscaya engkau akan menjadi kekasih Allah!!”
Ali bertanya, “Dengan apa (atas apa)  saya bersyukur kepada Allah?
“Dengan Islam!!”
“Dengan apa saya taat?” Tanya Ali lagi.
“Ucapkanlah : Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…!!”
Ali bertanya lagi, “Apa yang harus saya tinggalkan?”
Nabi SAW bersabda lagi, “Tinggalkanlah kemarahan, karena hal itu akan menghilangkan amarah Tuhanmu, memberatkan timbangan amal (kebaikan) dan membawamu ke surga!!”
Mendengar penjelasan Ali tersebut, Salman berkata, “Sungguh saya benar-benar susah memikirkan hal itu, terutama tentang keluarga!!”
Tentu, maksud Salman bukanlah perasaan sedih atau susah karena menyesali keadaannya. Tetapi kesedihan dalam rangka mengharap berbagai kebaikan seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW tersebut. Menjalani hidup dalam kesedihan/kesusahan dengan ikhlas untuk menggapai kegembiraan di akhirat kelak.
Menanggapi ucapan Salman tersebut, Ali berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda : Barang siapa yang tidak pernah bersedih karena memikirkan keluarganya, ia tidak berhak mendapat surga!!”
Salman menyahuti, “Bukankah Rasulullah SAW juga bersabda : Orang yang memiliki keluarga tidak akan bahagia selamanya??”
“Bukan seperti itu (maksudnya), Salman,” Kata Ali, “Jika pekerjaanmu halal, maka surga akan selalu merindukan orang-orang yang bersedih dan nestapa dalam mencari rezeki yang halal, demi untuk menghidupi keluarganya!!”

Note:ni6mu95