Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua perkara yang tidak ada sesuatu yang
melebihi fadhilahnya (keutamaannya), yakni beriman kepada Allah dan membuat
sesuatu yang bermanfaat bagi kaum muslimin.
Iman kepada Allah
adalah batasan, apakah seseorang itu celaka selamanya di neraka atau pada
akhirnya bisa ‘diangkat’ dari jurang kesengsaraan itu menuju ke surga. Karena
itulah Nabi SAW pernah bersabda kepada Abu Thalib, ketika paman beliau itu
dalam keadaan sekarat, “Wahai Paman, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah, satu
kalimat yang bisa engkau jadikan hujjah di sisi Allah!!”
Tetapi sejarah
membuktikan bahwa Abu Thalib tidak mengikuti anjuran Nabi SAW, sehingga ia
kekal di neraka. Padahal hampir 45 tahun hidupnya dihabiskan bersama Nabi SAW,
termasuk merawat dan menjaga beliau sejak usia 8 tahun. Tigabelas tahun lamanya
ia menjadi ‘pembela utama’ Nabi SAW ketika mendakwahkan Islam di Makkah. Beliau
pernah ditanya tentang keadaan Abu Thalib di akhirat kelak, dan beliau bersabda,
“Dia berada di neraka yang dangkal. Kalau tidak karena aku, tentu dia berada di
tingkatan neraka yang paling bawah.”
Dalam riwayat
lainnya, beliau pernah bersabda, “Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada hari
kiamat kelak, sehingga dia (Abu Thalib) diletakkan di neraka yang dangkal,
hanya sebatas tumitnya saja!!”
Beberapa ulama
berpendapat, walau hanya sebatas tumit yang terkena api neraka, tetapi otak
yang ada di kepalanya sampai mendidih. Wallahu A’lam.
Tentu saja,
keimanan dimaksud adalah keimanan yang sebenar-benarnya, tulus dari lubuk hati
yang paling dalam, tidak hanya sekedar ‘lips service’, pengakuan di mulut
semata. Pengakuan (syahadat) di lisan, yang diikuti dengan pembenaran dalam
hari, dan pada akhirnya diwujudkan dalam amal perbuatan.
Dalam Al Qur’an,
Surat Al Hujurat 14-15 dijelaskan : Orang-orang Arab Badui itu
berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah (wahai Muhammad) :
"Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk (Islam)', karena
iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman
itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar
(keimanannya)."
Tentang
keutamaan ‘membuat kemanfaatan bagi kaum muslimin’, karena hal itu sejalan
dengan misi diutusnya Rasulullah SAW, yakni rahmatan lil ‘alamin. Nabi SAW
pernah bersabda, “Hamba-hamba yang paling dicintai Allah adalah manusia yang
paling bermanfaat bagi sesama manusia. Sebaik-baiknya amal adalah memasukkan
(memunculkan) rasa gembira pada hati seorang mukmin, yakni menghilangkan
kelaparan dari dirinya, menyingkapkan kesulitan yang dialaminya, atau membayar
hutang-hutangnya. Dan tidak ada yang lebih jahat (buruk) dari dua hal, yakni menyekutukan
Allah (musyrik) dan mendatangkan bahaya (keburukan) kepada kaum muslimin.”
Dua
hal tersebut, beriman kepada Allah dan membuat kemanfaatan bagi kaum muslimin,
atau bisa disebut bersikap dermawan, bila berjalan beriringan akan ‘memuluskan’
jalan ke surga. Dermawan tidak harus selalu dengan harta, karena secara
sunnatullah, tidak semua orang memiliki kelebihan harta (kaya). Bisa saja
‘berderma’ dengan tenaganya, pikirannya, ilmunya, dengan kelapangan hati
memaafkan orang lain, senyuman dan lain-lain. Bahkan untuk hal sepele seperti
menyingkirkan duri dari jalanan, Nabi SAW telah menyebutkannya sebagai salah
satu dari 70 cabang iman, karena hal itu memang bermanfaat bagi orang lainnya.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar