Abu
Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Daratan adalah lisan dan lautan adalah hati.
Apabila lisan rusak, maka pribadi-pribadi manusia akan menangisinya, dan
apabila hati yang rusak, maka para malaikat yang akan menangisinya…!”
Ketika Abu Bakar Ash Shiddiq RA
membaca Al Qur’an dan sampai pada ayat ke 41 dari surat Ar-Rum, yakni : “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Maka beliau berkata
seperti tersebut di atas, seolah-olah memberikan tafsiran sesuai dengan
pandangan dan pemahaman beliau.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dari
tahun ke tahun hingga masa sekarang ini, kerusakan yang terjadi di daratan dan
di lautan makin parah saja. Baik kerusakan yang sifatnya lingkungan, terlebih
lagi yang sifatnya moralitas. Ironinya, kerusakan itu terjadi seiring dengan
meningkatnya jumlah manusia dan makin tingginya intelektualitas mereka. Dan
semua itu seolah-olah ‘disahkan’ atas nama modernitas dan hak-hak asasi
manusia. Telah begitu banyak aktivis yang menyuarakan dan memperjuangkan agar
semua itu dihentikan, tetapi upaya-upaya mereka itu hanya mampu memperlambat
saja. Bahkan tidak jarang mereka menjadi martir (korban) dari pejuangannya,
sementara ‘perusakan’ berjalan terus, terkadang malah mendapat legalitas dan
‘payung hukum”.
Secara umum, ketika kita membaca QS
Ar Rum 41 tersebut pemahaman kita akan dibawa pada salah satu bentuk ‘ramalan’
Al Qur’an tentang keadaan yang akan terjadi jauh di masa depan, khususnya
masalah lingkungan. Hutan hijau yang menjadi ‘paru-paru’ dunia jauh berkurang,
lautan (pantai-pantai) diurug dan direklamasi, hutan bakau lenyap tanpa bekas.
Sedikit demi sedikit suhu bumi naik (global warming), yang berakibat gugusan
gunung-gunung es di kutub akan berangsur mencair. Akhirnya manusia sendiri yang
akan merasakan kesulitan dalam hidupnya. Seperti inilah umumnya pemahanan kita
tentang ayat tersebut.
Sedangkan Abu Bakar ash Shiddiq RA
menafsirinya dalam bentuk ‘jagad kecil’, yakni diri manusia, tidak sekedar
‘jagad besar’, lingkungan hidup manusia di bumi. Beliau menggambarkan bahwa : Daratan
(barri) adalah lisan dan lautan (bahri) adalah hati. Apabila lisan rusak, maka
pribadi-pribadi manusia akan menangisinya, dan apabila hati yang rusak, maka
para malaikat yang akan menangisinya. Dalam hal ini, beliau menafsiri daratan
dan lautan dalam kontek moralitas.
Lisan dan hati adalah dua bagian
yang amat penting pada diri manusia, dua bagian kecil dibanding keseluruhan
tubuhnya, tetapi sangat menentukan bagaimana ‘nilai’ dirinya. Baik dalam
kehidupan dunia, terlebih dalam kehidupan akhiratnya. Lisan mewakili lahiriah
sedang hati mewakili bathiniah, tetapi pada dasarnya mempunyai ‘tugas utama’
yang terhubung, yakni dzikrullah (selalu mengingat Allah), hanya saja tidak
selalu yang satu mencerminkan yang lainnya. Tidak jarang ada manusia yang
lisannya begitu baik dan memikat, tetapi hatinya rusak. Tetapi ketika lisannya
telah rusak, kebanyakan (walau tidak selalu) hatinya juga telah rusak.
Allah telah menciptakan manusia
dengan berbagai macam perbedaan. Baik berbeda suku dan bangsa, warna kulit,
tinggi badan, bentuk mata, kebiasaan, makanan, dan banyak perbedaan lainnya,
termasuk secara umum keindahan (cantik/tampan dan jeleknya) wajahnya. Walau
secara umum, perbedaan tersebut telah memberikan nilai beda bagi manusia,
tetapi di sisi Allah, nilai kemuliaannya terletak pada ketakwaannya (QS Al
Hujurat 13). Dan pada dasarnya hal itu akan ‘diwakili’ oleh lisan dan hatinya.
Betapa banyak kita menjumpai
keadaan seseorang yang memiliki ‘kesempurnaan’ secara lahiriah, tetapi tidak
mampu menjaga lisannya, maka ia akan jatuh pada pandangan manusia. Dari
lisannya seringkali keluar kata-kata yang menghujat dan menyakiti, sombong dan
merendahkan orang lain, seolah-olah hanya dia saja yang benar dan manusia
terbaik. Tidak jarang pula keluar perkataan kotor dan jahat yang tidak sesuai
dengan norma susila, budaya dan agama. Lisannya yang kecil itu telah
menjatuhkan nilai kemanusiaannya, sungguh sangat bertolak belakang dengan
penampilannya. Dalam keadaan seperti inilah para manusia biasanya
‘menyayangkan’ keadaan dirinya, Abu Bakar menyebutnya dengan ‘menangisinya’.
Hati adalah bagian dari diri manusia
yang tidak terduga, pantaslah kalau Abu Bakar RA mengibaratkannya sebagai
lautan. Bahkan telah terkenal sebuah peribahasa ‘Dalamnya lautan bisa diduga,
tetapi hati seseorang siapa yang tahu?’ Imam Al Ghazali mengatakan bahwa hati
itu ibarat raja dalam ‘kerajaan’ manusia, yang akan menentukan corak dan keadaan
dirinya. Selamat atau tidaknya seseorang itu di akhirat kelak, sangat
tergantung bagaimana keadaan hatinya.
Secara fitrah hati manusia adalah
baik, dan disiapkan untuk sumber kebaikan bagi manusia. Iman dan takwa terletak
di dalam hati, kemudian memancar (mewujud) ke seluruh bagian tubuhnya. Tetapi
‘musuh-musuh laten’ tidak pernah berhenti dan beristirahat untuk menyesatkan
manusia, mereka cukup lihai ‘memanfaatkan’ dua hal yang kebanyakan manusia
menjadi lemah karenanya, yakni kesenangan hawa nafsu dan kenikmatan duniawiah. Oleh
karena itulah Iblis dan bala-tentaranya dari bangsa syetan memfokuskan dirinya
untuk menggoda dan menyesatkan manusia dari sisi hatinya.
Para malaikat tahu persis bagaimana
kemuliaan manusia dibanding mahluk Allah lainnya. Bahkan untuk itu mereka
diperintahkan Allah untuk sujud (penghormatan) kepada Nabi Adam AS yang menjadi
‘bapak’ bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksikan
hati manusia menjadi rusak karena memperturutkan hawa nafsu dan bergelimang dengan
kesenangan duniawiah semata, hari esok (masa depan) yang sebenarnya, yakni hari
akhirat terlupakan, mereka menyayangkan dan menangisinya. Hati manusia yang
fitrahnya suci jadi penuh dengan penyakit yang menggerogotinya, semisal tamak,
dengki, takabur, ujub, egois, sok berkuasa, tidak punya rasa kasih sayang, dan
lain sebagainya.
Note:ni10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar