Utsman
bin Affan RA berkata, “Bingung memikirkan dunia akan menjadikan hati gelap,
sedangkan bingung memikirkan akhirat akan menjadikan hati terang.”
Sebagai mahluk yang dibekali dengan
akal, manusia tidak akan lepas dengan apa yang dinamakan proses ‘berfikir’.
Tetapi karena manusia juga dibekali dengan nafsu, beberapa filosof menyebutkan
bahwa manusia itu adalah ‘binatang’ yang berfikir. Selama masih normal, tidak
ada seorang manusia kecuali ia akan selalu ‘berfikir’. Dalam berfikir,
seseorang akan dipengaruhi oleh prioritas hidup yang ‘dipilih’-nya, sementara Allah
memberikan ‘modal dasar’ yang sama, sebagaimana disitir dalam QS surah Asy-Syams
7-10 : Dan demi jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang
yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Jalan kefasikan (fajir) didorong
oleh nafsu, sedangkan jalan ketakwaan didorong oleh hati (qolbu). Nafsu dan
hati bisa dikatakan sebagai dua sisi yang berlawanan, nafsu dalam keadaan
aslinya, akan selalu menuntut untuk dipenuhi kesenangannya yang sesaat. Jika
dibiarkan nafsu menguasai diri seseorang, maka hatinya akan menjadi gelap.
Tetapi sebaliknya, jika seseorang mampu ‘mendidik’ nafsunya sehingga menjadi
nafsu yang ‘muthmainnah’, maka hati nuraninya (qolbu) menjadi terang benderang,
dan akan menjadi pusat kontrol dirinya.
Karena itulah, jika nafsu yang
lebih dominan pada diri seseorang, maka proses berfikir dan aktivitas hidupnya
akan lebih banyak ditujukan untuk kesenangan duniawiah semata-mata. Sebaliknya,
jika hati (qolbu) yang lebih dominan pada diri seseorang, maka proses berfikir
dan aktivitas hidupnya akan lebih banyak ditujukan untuk keselamatan dalam
kehidupan akhirat. Kalaupun ada aktivitas duniawiahnya, semua itu ditujukan
untuk mendukung ‘bekal’ akhiratnya.
Dengan nasehatnya tersebut, sahabat
Utsman bin Affan RA tidak bermaksud agar kita ‘meninggalkan’ semua aktivitas
kehidupan dunia (pekerjaan, kehidupan sosial, dll). Kita semua tahu bahwa
beliau adalah seorang sahabat Nabi SAW yang juga seorang pedagang yang sukses,
kalau sekarang bisa dibilang sebagai seorang ‘konglomerat’. Tetapi dengan
kesibukannya itu beliau sama sekali tidak melalaikan kehidupan akhiratnya,
bahkan sebagian besar harta hasil perdagangannya itu digunakan untuk membantu
perjuangan Nabi SAW dan untuk kepentingan masyarakat, sebagaimana sahabat
Abdurrahman bin Auf.
Tidak semua orang bisa sukses sebagaimana
sahabat Utsman atau Ibnu Auf. Ada
juga orang yang sangat ‘disibukkan’ dengan aktivitas duniawiah, padahal hanya
untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya saja, itupun terkadang masih kurang,
bahkan tidak jarang pulang dengan tangan hampa. Bagi mereka ini, asalkan tidak
meninggalkan kewajibannya kepada Allah dan berusaha untuk tidak terjatuh pada
jalan yang diharamkan Allah, kesibukannya dalam aktivitas dunia bisa jadi malah
meningkatkan derajadnya di akhirat. Kisah berikut ini mungkin bisa memberikan gambaran.
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib,
yang saat itu menjabat sebagai khalifah, bertemu dengan sahabat Salman al
Farisi. Ali menyapanya, “Apa kabar dirimu, wahai Salman?”
Salman berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, saya sedang memikirkan empat kesusahan yang saya alami!!”
“Kesusahan apa?” Tanya Ali.
Salman berkata, “Kesusahan keluarga
karena membutuhkan roti (makanan pokok), kesusahan karena perintah Allah untuk
menjalankan taat, kesusahan karena godaan syetan yang selalu mengajak maksiat,
dan kesusahan karena akan datangnya malaikat maut untuk mencabut
nyawaku!!”
Reaksi yang diberikan Ali sungguh
mengejutkan, “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, pada setiap keadaan itu, engkau
memiliki derajad (kedudukan utama) di sisi Allah”
Tentu saja Salman kebingungan melihat
reaksi sahabat dan menantu Rasulullah SAW itu. Kemudian Ali menceritakan, bahwa
ketika Nabi SAW masih hidup, suatu pagi ia bertemu dengan beliau dan beliau
bersabda, “Bagaimana pagimu, ya Ali?”
“Wahai Rasulullah,” Kata Ali, “Saya
berada dalam kesedihan karena memikirkan empat hal. Saya tidak memiliki apapun
(untuk makan) kecuali hanya air, saya sedih dalam melaksanakan ketaatan kepada
Allah (apakah akan diterima?), saya sedih tentang balasan amal (apakah lebih
banyak kebaikannya?), dan saya sedih akan datangnya malaikat maut (apakah akan
khusnul khotimah?).”
Mendengar jawaban Ali tersebut,
dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Bergembiralah wahai Ali, sesungguhnya
kesedihan karena memikirkan keluarga adalah tabir dari neraka, dan kesedihan karena
memikirkan ketaatan kepada Allah al Khaliq adalah (kunci) keamananmu dari azab,
kesedihan karena memikirkan balasan amal adalah jihad, yang hal itu lebih baik
daripada ibadah selama 60 tahun, dan kesedihan karena memikirkan akan datangnya
malaikat maut adalah kafarat (pelebur, penebus) dari dosa-dosamu. Ketahuilah,
wahai Ali, rezeki Allah kepada hamba-Nya itu tidak karena kesedihan itu.
Kesedihan tidak berpengaruh apa-apa (atas pembagian rezeki dari Allah) kecuali
semakin menambah pahala. Jadilah orang yang bersyukur dan tawakal, niscaya
engkau akan menjadi kekasih Allah!!”
Ali bertanya, “Dengan apa (atas
apa) saya bersyukur kepada Allah?
“Dengan Islam!!”
“Dengan apa saya taat?” Tanya Ali
lagi.
“Ucapkanlah : Laa haula wa laa
quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…!!”
Ali bertanya lagi, “Apa yang harus
saya tinggalkan?”
Nabi SAW bersabda lagi,
“Tinggalkanlah kemarahan, karena hal itu akan menghilangkan amarah Tuhanmu,
memberatkan timbangan amal (kebaikan) dan membawamu ke surga!!”
Mendengar penjelasan Ali tersebut,
Salman berkata, “Sungguh saya benar-benar susah memikirkan hal itu, terutama
tentang keluarga!!”
Tentu, maksud Salman bukanlah
perasaan sedih atau susah karena menyesali keadaannya. Tetapi kesedihan dalam
rangka mengharap berbagai kebaikan seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW
tersebut. Menjalani hidup dalam kesedihan/kesusahan dengan ikhlas untuk
menggapai kegembiraan di akhirat kelak.
Menanggapi ucapan Salman tersebut,
Ali berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda : Barang siapa yang tidak
pernah bersedih karena memikirkan keluarganya, ia tidak berhak mendapat
surga!!”
Salman menyahuti, “Bukankah
Rasulullah SAW juga bersabda : Orang yang memiliki keluarga tidak akan bahagia
selamanya??”
“Bukan seperti itu (maksudnya),
Salman,” Kata Ali, “Jika pekerjaanmu halal, maka surga akan selalu merindukan
orang-orang yang bersedih dan nestapa dalam mencari rezeki yang halal, demi
untuk menghidupi keluarganya!!”
Note:ni6mu95
bismillah, ijin mencuplik bagian artikel jenengan nggih
BalasHapus